Ini Strategi Jangka Panjang RI dalam Pengendalian Perubahan Iklim

Jakarta – Dalam partisipasinya pada Perjanjian Paris, Indonesia meratifikasinya menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Para negara pihak yang telah meratifikasi Perjanjian Paris wajib menyampaikan Nationally Determined Contributions (NDC) degan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 2030.

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Ruandha Agung Sugardiman mengatakan NDC Indonesia menargetkan penurunan emisi GRK 29% dengan usaha sendiri, dan 41% dengan dukungan internasional. Ada 5 sektor dalam NDC yang berperan dalam penurunan emisi GRK, yakni energi, limbah, industrial processes and production use (IPPU), pertanian, dan kehutanan.

Ia mengatakan pihaknya telah menyelesaikan pembaruan NDC Indonesia. Dalam pembaruan tersebut ada 4 pokok utama yang dibahas. Pertama tetap mempertahankan angka target penurunan emisi GRK sebesar 29% sampai dengan 41% pada tahun 2030 sesuai dengan hasil elaborasi dalam road map NDC Mitigasi. Kedua yaitu update informasi sesuai dengan kondisi saat ini, contohnya telah dimasukkan hal-hal yang berkaitan dengan visi misi Kabinet Indonesia Maju 2019.

Ketiga, yang merupakan hal baru dalamNDC adalah penjelasan mengenai hal yang masih perlu informasi rinci, misalnya terkait elemen adaptasi dan sarana implementasi serta kerangka transparansi. Terakhir adalah terdapat komitmen baru terkait oceans, wetland seperti mangrove, coral, dan sebagainya yang biasa disebut blue carbon, serta pemukiman masyarakat dalam elemen adaptasi.

Ruandha mengatakan Indonesia juga telah menyiapkan strategi jangka panjang hingga 2070 berupa arah kebijakan dan pembangunan yang rendah karbon dan berketahanan iklim. Menurutnya mandat long-term strategies (LTS) sudah ada dalam Perjanjian Paris artikel 4.19, semua negara pihak harus memformulasikan dan mengomunikasikan strategi jangka panjang pembangunan rendah emisi GRK.

“LTS ini sebenarnya harus sudah disampaikan sebelum pada tahun 2020, tetapi karena Pandemi COVID-19 maka akan disampaikan sebelum COP 26 tahun 2021,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Jumat (19/3/2021).

LTS Indonesia memuat beberapa elemen antara lain (1) Ambisi terhadap upaya adaptasi dan mitigasi; (2) Arah upaya mitigasi; (3) Arah upaya adaptasi; (4) Kebijakan lintas sektoral dan perhitungannya; (5) Kemitraan internasional; (6) Penerapan pendekatan; serta (7) Monitoring, review, dan update.

Ia menjelaskan strategi jangka panjang untuk mencapai target ‘menuju net zero emission’ pada tahun 2050 adalah peran pemerintah pusat dapat menyelaraskan tujuan dan target pengendalian perubahan iklim dengan target pembangunan nasional, sub-nasional, dan internasional, termasuk tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals (SDGs).

Selain itu, juga cara pemerintah pusat bisa merangkul pihak yang bukan stakeholder negara pihak, mengembangkan inovasi, dan memperkuat komunitas dalam upaya pengendalian perubahan iklim. Menurutnya pada 2045 atau 100 tahun Indonesia merdeka, telah dipikirkan juga strategi menuju Indonesia yang maju dan sejahtera, diharapkan Indonesia bisa benar-benar mencapai target ‘net zero emission’ pada tahun 2070 nanti.

Ruandha juga menyampaikan persiapan Indonesia menuju COP 26 yang rencananya akan dilangsungkan di Glasgow, Britania Raya. Terdapat 14 agenda besar diskusi yaitu (1) Mitigation; (2) Adaptation; (3) Transparency of Actions and Supports; (4) Climate Finance; (5) Capacity Building; (6) Technology; (7) Article; (6) of the Paris Agreement; (8) Compliance; (9) Response Measure; (10) Agriculture; (11) Gender and Climate Change; (12) Research and Systematic Observation (RSO); (13) Local Communities and Indigenous People Platform (LCIPP); dan (14) Ocean and Climate Change.

“Agenda tersebut sudah fix setiap tahun, dan saat ini diskusi-diskusi tengah kita lakukan untuk mempertajam posisi Indonesia, terutama pada agenda nomor 14 yaitu ocean and climate change. Kami terus berdiskusi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait hal ini agar dapat memasukan upaya mitigasi dalam agenda ini,” terangnya.

Staf Ahli Menteri LHK bidang Industri dan Perdagangan Internasional, Laksmi Dhewanthi mengatakan aksi pengendalian perubahan iklim baik upaya mitigasi dan adaptasi perlu didukung oleh banyak instrumen, salah satunya pendanaan. Menurutnya selama ini aksi pengendalian perubahan iklim didanai dari berbagai sumber, termasuk APBN.

Menurut laporan Third National Communication (TNC) kepada Sekretariat UNFCCC pada tahun 2017, untuk kurun waktu 2015-2020, Indonesia memerlukan pendanaan yang cukup besar untuk membiayai pelaksanaan komitmen adaptasi dan mitigasi dalam pengendalian perubahan iklim yaitu sebesar US$ 81 miliar.

“Untuk mencapai target NDC, APBN menganggarkan 34% dari total kebutuhan pembiayaan iklim atau sebesar Rp 3.461 triliun. Kalau kita hanya bertumpu pada budget pemerintah, maka ini tidak akan cukup, sehingga ada beberapa strategi yang dikembangkan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian LHK dan Kementerian Keuangan yang menjadi focal point dalam pendanaan aksi pengendalian perubahan iklim,” terangnya.

Laksmi mengatakan ada 4 strategi yang dikembangkan untuk mengatasi persoalan pendanaan perubahan iklim. Pertama adalah kebijakan fiskal yang diwujudkan dalam bentuk pendapatan, pembelanjaan, dan pembiayaan. Kedua adalah mengembangkan instrumen-instrumen pembiayaan yang inovatif, seperti result-base payment (RBP), global dan ritel greensukuk untuk membiayai proyek hijau dalam APBN, serta pelibatan dunia usaha swasta dengan skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) untuk membiayai proyek infrastruktur.

Ketiga adalah meningkatkan akses kepada pendanaan di tingkat global, seperti green climate fund (GCF), global environment facility (GEF), dan sumber pendanaan global lainnya. Dalam meningkatkan akses pendanaan global ini, ada beberapa hal diperbaiki, seperti tata kelola, pendataan, termasuk sistem registrasi untuk bisa membuktikan secara valid, berapa besar capaian penurunan emisi GRK di Indonesia. Strategi terakhir adalah meningkatkan daya tarik investasi, baik itu investasi swasta, business to business, maupun antar pemerintah atau negara.

Laksmi mengatakan salah satu inovasi yang dilakukan adalah meningkatkan tata kelola atau mendorong upaya untuk memobilisasi sumber-sumber pendanaan untuk pengendalian perubahan iklim di luar APBN.

“Maka dari itu, pada bulan Oktober tahun 2019, pemerintah telah meluncurkan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang mempunyai tugas untuk mengelola, memupuk dan menyalurkan berbagai macam pembiayaan yang dapat mendukung upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup termasuk pengendalian perubahan iklim,” ungkapnya.

BPDLH juga telah mengelola sumber-sumber pendanaan yang sudah ada, seperti fasilitas dana bergulir yang bersumber dari dana reboisasi yang sebelumnya dikelola oleh Badan Layanan Umum di bawah Kementerian LHK. BPDLH juga mengelola dana-dana dari RBP dari GCF, kerja sama bilateral REDD Indonesia-Norwegia, kemudian juga terdapat forest carbon partnership facility, biocarbon fund, dan lainnya.

“Penerima manfaat dari BPDLH nanti akan sangat luas, baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, kelompok-kelompok masyarakat, para pemangku kepentingan yang diharapkan dapat berkontribusi positif pada perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, termasuk aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim,” jelasnya.

Inovasi pembiayaan lainnya adalah mengembangkan kebijakan untuk memanfaatkan instrumen nilai ekonomi karbon atau carbon pricing. Menurutnya saat ini rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon untuk pencapaian target NDC dan pengendalian emisi karbon dalam pembangunan nasional telah memasuki tahap akhir. (ega/ega)

Terima kasih telah membaca artikel

Ini Strategi Jangka Panjang RI dalam Pengendalian Perubahan Iklim