ICW ke KPK: Kalau Eks Koruptor Jadi Penyintas Korupsi, Warga Dianggap Apa?

Jakarta – KPK mendapatkan kritik tajam dari Indonesia Corruption Watch (ICW) perihal penggunaan istilah ‘penyintas korupsi‘ untuk mantan terpidana kasus korupsi atau mantan koruptor. Apa kata ICW?
“Salah satu pejabat tinggi KPK justru menyebut para pelaku korupsi itu sebagai penyintas padahal korupsi merupakan kejahatan struktural, di mana pelaku utamanya adalah mereka yang saat ini dijebloskan ke Sukamiskin,” ujar salah satu aktivis ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Kamis (1/4/2021).
Penyintas itu dianggap sebagai seseorang yang selamat dari suatu peristiwa atau sederhananya adalah korban yang selamat. Untuk itu Kurnia menganggap seharusnya dalam perkara korupsi yang menjadi korban adalah masyarakat.
“Sementara korban korupsi adalah masyarakat luas karena korupsi, jalan rusak, jembatan ambruk, gedung sekolah tidak bisa digunakan, kualitas pelayanan publik buruk dan merugikan warga masyarakat,” ucap Kurnia.
“Jika pelaku korupsi adalah penyintas dalam pikiran pejabat KPK, lalu masyarakat dianggap sebagai apa? Ini merupakan cacat logika yang merupakan turunan dari kerusakan dalam alur pikir keseluruhan program kunjungan pencegahan dan sosialisasi antikorupsi ke Lapas Sukamiskin,” imbuhnya.
Secara lebih luas ICW menyoroti kegiatan sosialisasi KPK ke narapidana koruptor di Lapas Sukamiskin yang baru-baru ini terjadi. ICW menilai Kunjungan KPK kali ini mengingatkan publik pada kegiatan Panitia Angket DPR ke Lp Sukamiskin pertengahan tahun 2017 lalu.
Kurnia mengatakan dalam kunjugan tersebut Panitia Angket mengunjungi Lapas Sukamiskin guna mendengar pendapat dari para terpidana tentang kinerja KPK. Dari pertemuan itu, Kurnia menilai menghasilkan banyak penyesatan informasi terkait kinerja KPK. Namun, KPK pada era kepemimpinan Firli Bahuri justru menyambangi tempat tersebut guna memberikan edukasi antikorupsi.
Oleh sebab itu, ICW menilai kegiatan sosialisasi antikorupsi ke Lapas Sukamiskin dapat disebut pemborosan anggaran. Sebab berdasarkan pemantauan ICW, dari seluruh warga binaan yang mengikut kegiatan sosialisasi, hanya 8 orang terpidana KPK turut serta dalam acara tersebut.
“Hasil yang didapatkan dari kegiatan itu hampir bisa dipastikan nol besar,” ujarnya.
Kedua, secara nilai, sosialisasi ke Lapas Sukamiskin bertentangan dengan Pasal 4 UU KPK. Regulasi itu menyebutkan bahwa KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. ICW lantas mempertanyakan apa hasil guna kegiatan sosialisasi pencegahan tersebut?
“Pencegahan KPK ke Lapas Sukamiskin sudah jelas salah sasaran. Betapa tidak, sosialisasi yang harusnya menyasar masyarakat selaku korban korupsi, malah mendatangi pelaku kejahatan,” imbuh Kurnia.
Kurnia menyebut mestinya KPK menggencarkan sosialisasi untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam memberantas korupsi. ICW menilai justru kegiatan sosialisasi ke warga binaan akan semakin mendegradasi kepercayaan publik terhadap KPK. Oleh sebab itu ICW meminta pimpinan KPK menghentikan gimik dan fokus dalam upaya pemberantasan korupsi.
“Penting untuk diingat, sepanjang tahun 2020 praktis ada delapan lembaga survei yang telah mengonfirmasi hal tersebut. Ditambah dengan menurunnya performa KPK dan indeks persepsi korupsi Indonesia yang merosot tajam. Jauh lebih baik jika KPK menginisiasi program pencegahan yang sifatnya struktural dan menyasar kelembagaan dan birokrasi kementerian/ lembaga negara,” ucap Kurnia.
“Maka dari itu, ICW mendesak agar jajaran Pimpinan KPK menghentikan gimik kontroversial, dan fokus menjalankan kerja-kerja pemberantasan korupsi yang memang relevan dan signifikan,” sambungnya.
Sebelumnya Ketua KPK Firli Bahuri mendatangi LP Sukamiskin untuk melakukan sosialisasi terkait pencegahan korupsi. Dalam acara itu hadir pula Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana yang menilai eks narapidana koruptor adalah penyintas korupsi.
Selengkapnya di halaman berikutnya.