HNW Minta Mensos Perbaiki Akurasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial

Jakarta –
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mendesak Kementerian Sosial untuk menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo terkait rendahnya akurasi data. Pasalnya, sejak tahun 2014 belum ada penyelesaian soal akurasi data yang sistematik dan menyeluruh di Kementerian Sosial.
“Pengelolaan data terpadu oleh Kemensos pertama kali dijalankan tahun 2016 pada periode pertama Presiden Jokowi sesuai amanat UU Nomor 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. Sayangnya hingga hari ini belum bisa menciptakan sistem pengelolaan data terpadu yang baik sehingga banyak data tidak valid,” ujar HNW dalam keterangannya, Sabtu (29/5/2021).
Anggota DPR RI Komisi VIII ini menjelaskan pada rapat kerja terakhir dengan Kementerian Sosial, Kamis (24/5) lalu, Menteri Sosial Tri Rismaharini melaporkan terdapat sekitar 21 juta data dalam DTKS yang ditidurkan. Data tersebut kemudian ditambahkan sebagian data dari penerima manfaat Bantuan Pangan Non Tunai, Bantuan Sosial Tunai dan Program Keluarga Harapan.
“Dengan ‘ditidurkannya’ 21 juta data, maka data DTKS baru berkurang, atau tidak banyak berubah secara jumlah dari DTKS sebelumnya. Namun pada new DTKS yang diputuskan oleh Menteri Sosial pada 1 April 2021, terdapat penambahan data menjadi 139 juta dari sebelumnya yang berjumlah 97 juta data individu,” ungkapnya.
HNW mempertanyakan validitas 42 juta data yang ditambahkan tersebut, sekaligus meminta Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) untuk turut memeriksa hal ini. Pasalnya, dari 139 juta data tersebut hanya 100 juta data yang sudah padan dengan Dukcapil, sementara sisanya dikhawatirkan sebagai data siluman.
Lebih lanjut, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS ini juga menilai strategi Kementerian Sosial saat ini yang melakukan verifikasi dan validasi data secara terpusat potensial bermasalah. Pasalnya, sesuai UU 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, dan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, wewenang pendataan dan verivali tingkat 1 terdapat di Pemerintah Daerah.
Menurutnya, pelibatan pemerintah daerah dalam upaya sistematik verivali akan menciptakan pembaruan data yang berkelanjutan, bukan hanya perbaikan temporal yang dilakukan Kemensos saat ada temuan dari BPKP maupun KPK. Potensi bermasalah dari verivali terpusat yang dijalankan ini terbukti dengan adanya temuan dari KPK berupa inefisiensi anggaran dari kebijakan tersebut senilai Rp 581 Miliar.
“Jangan sampai data terpadu hanya serius dibenahi ketika muncul temuan ke publik. Apalagi, Komisi VIII DPR-RI telah membantu dengan menyediakan kenaikan anggaran validasi data hingga Rp 1,2 Triliun. Mensos harusnya bisa menggunakan anggaran tersebut untuk bantu verivali di daerah, bukan justru digunakan untuk hal yang malah memunculkan inefisiensi anggaran, di tengah merosotnya pendapatan Negara akibat COVID-19. Presiden Jokowi seharusnya juga memastikan tidak terjadinya inefisiensi seperti ini, agar APBN yang ada bisa dipergunakan untuk sebanyak-banyaknya membantu warga terdampak COVID-19,” pungkasnya.
(akd/ega)