Forum Sinologi Gelar Diskusi COC Laut China Selatan, Ini Kesimpulannya

Jakarta

Situasi terkini di Laut China Selatan dinilai sangat mencekam, termasuk bagi Indonesia. Hal itu terjadi karena sembilan garis putus-putus (nine-dash line), yang baru saja berkembang menjadi 10 garis, menerabas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan dekat Natuna.

“Code of Conduct (COC ) Laut Cina Selatan harus bisa mengekang perilaku agresif Cina, bila tidak maka sebaiknya COC tersebut ditolak,” ujar Direktur Eksekutif Pusat Riset ASEAN Universitas Padjajaran Bandung Dr. Teuku Rezasyah dikutip Minggu (17/9/2023).

Hal itu dia katakan dalam seminar berjudul “Pedoman Tata Perilaku (Code of Conduct) Di Laut China Selatan: Berkah Bagi China, ASEAN, Atau Seluruh Kawasan” yang diselenggarakan oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Sabtu (16/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hadir juga dalam seminar dosen dan pemerhati isu strategi dan keamanan Hubungan Internasional Universitas Indonesia Ristian Atriandi Supriyanto, M. Sc. Seminar dibuka oleh pendiri dan ketua dewan penasihat FSI Profesor Abdullah Dahana.

Teuku Rezasyah mengatakan bahwa nine-dash line membuat hadirnya potensi ketegangan bahkan konflik antara Cina di satu sisi dan Indonesia serta negara-negara sekitar.

“Padahal, klaim wilayah oleh Cina yang ditandai garis putus-putus itu tidak ada menurut UNCLOS (Konvesi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut). Klaim itu hanya berdasarkan catatan sejarah Cina, yang menganggap bahwa nelayan-nelayan mereka sudah mengunjungi wilayah tersebut sejak ratusan atau bahkan ribuan tahun lalu,” tuturnya.

Selain tidak berdasarkan UNCLOS, klaim 9 garis putus-putus juga tidak memiliki definisi yang jelas. “Cina memang sengaja mengaburkan agar terjadi kebingungan di kalangan negara-negara lain. Perlu dicatat bahwa Cina menganggap diri sebagai pusat dunia, sehingga negara-negara sekitar, termasuk Asia Tenggara, dalam anggapan Cina perlu dijadikan beradab. Mereka tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan Cina,” tutur Teuku.

Namun demikian, menurut Teuku, seiring dengan meningkatnya kekuatan ekonomi Cina, negara tersebut malah menjadi semakin agresif. Dalam konteks inilah, menurut Teuku, COC, yang pada intinya seruan untuk menahan diri, diupayakan untuk segera terwujud.

“Namun masih terdapat kesulitan-kesulitan, karena Cina meminta agar klaim mereka yang hanya didasarkan faktor historis semata, dan bukan berdasarkan UNCLOS, tetap dihargai,” tuturnya.

Teuku menekankan peran Indonesia yang sangat penting dalam upaya perwujudan COC di atas, meski dalam pandangannya jalan untuk COC betul betul terwujud sepertinya masih panjang. Namun ia mengatakan bahwa RI perlu terus mempertahankan perannya, sebagai semacam juru bicara untuk isu isu yang berhubungan dengan Laut Cina Selatan (LCS), meski Indonesia nanti tidak lagi menjadi ketua ASEAN. Selain itu, peran diplomatik Indonesia itu perlu dibarengi dengan peningkatan nilai tawar kekuatan, antara lain dengan meningkatkan kredibilitas militer Indonesia.

“Ini dapat dilakukan dengan memperbanyak latihan-latihan tempur dengan negara-negara yang lebih kuat,” tuturnya. Dalam pandangannya, latihan militer Garuda Shield atau Super Garuda Shield perlu dilanjutkan.

Pembicara lain dalam seminar itu, Ristian Atriandi Supriyanto, mengatakan bahwa strategi Cina dalam konteks LCS adalah mempertahankan ambiguitas. “Misalnya, Cina seolah-olah menekankan dukungan pada percepatan COC, tetapi baru saja kesepakatan percepatan COC diumumkan, Cina malah meningkatkan ekskalasi dengan merilis peta baru yang di dalamnya tercantum 10 garis putus putus yang mengklaim sebagian besar LCS-termasuk sebagian ZEE Indonesia di perairan Laut Natun Utara-sebagai bagian dari teritori Cina,” tegas Ristian.

“Sebelumnya, armada Penjaga Pantai Cina juga meningkatkan ketegangan dengan melakukan perilaku yang tak bertanggung jawab kepada kapal-kapal pembawa pasukan Filipina di sekitar Second Thomas Shoal, yang berada di wilayah ZEE Filipina, dengan menyemperotkan air secara kuat kepada kapal-kapal Filipina itu,” jelasnya.

Meski mendukung upaya perwujudan COC yang diharapkan dapat mencegah ketegangan-ketegangan yang muncul di masa mendatang, Ristian juga khawatir bila COC yang terselesaikan justru mengakodomasi kepentingan-kepentingan Cina, sehingga Cina dapat berperilaku sewenang-wenang.

“Bila Cina berhasil mengikat negara-negara ASEAN melalui COC agar tidak melibatkan negara di luar kawasan, maka Cina dapat bertindak sewenang-wenang karena ia merupakan aktor lebih kuat dari negara-negara ASEAN. COC yang terwujud tidak boleh terlalu lembek, tetapi harus bisa mengekang prilaku agresif Cina,” katanya.

Johanes Herlijanto, ketua FSI yang juga dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan, mengaminkan pernyataan Ristian di atas. Johanes mengapresiasi kesepakatan negara-negara ASEAN dan Cina untuk mempercepat penyelesaian COC di LCS.

Namun demikian, ia menekankan pentingnya COC yang dihasilkan untuk tetap berlandaskan UNCLOS dan mencerminkan sikap dan kepentingan negara-negara ASEAN, khususnya negara-negara yang bersinggungan dengan klaim Cina di LCS. Menggemakan kembali hasil diskusi dengan Ristian, Johanes mengatakan bahwa penting bagi negara-negara ASEAN untuk memastikan agar Cina tidak menjadikan COC sebagai alat legitimasi bagi klaim 10 garis putus-putusnya.

“Sebaliknya, setiap negosiasi harus tetep menekankan penolakan klaim wilayah Cina yang ditandai oleh 10 garis putus-putus tersebut,” jelasnya.

Menurutnya, negara-negara ASEAN juga harus menolak bila Cina bersikeras untuk memasukan klausul yang membatasi kebebasan negara-negara ASEAN dalam memilih partner kerja sama untuk melakukan eksploitasi ekonomi di wilayah ZEE mereka.

“ZEE negara-negara ASEAN sah menurut UNCLOS, oleh karenanya masing-masing negara berhak menentukan akan kerja sama dengan pihak mana pun, dan tidak boleh diintervensi oleh Cina,” tuturnya.

Setiap pembicara dalam seminar sama-sama sepakat bahwa masih banyak pertanyaan yang perlu dijawab sebelum COC terwujud. Salah satunya adalah bagaimana cara penegakan hukum dan pihak mana yang berwenang melakukan penegakan hukum bila terdapat pihak yang melakukan pelanggaran terhadap COC yang sudah disepakati.

(mpr/ega)

Terima kasih telah membaca artikel

Forum Sinologi Gelar Diskusi COC Laut China Selatan, Ini Kesimpulannya