ASN dan Disorientasi Tata Kelola

Kebanyakan dari warga negara memilih mendaftar Aparatur Sipil Negara (ASN) hanya agar memiliki penghasilan tetap, menjadi sosok menantu idaman, dan bisa menikmati hari tua dengan gaji pensiun. Profesi ASN masih dipandang sebagai profesi paling aman sampai hari tua. Pada titik ini, terjadi demotivasi dari konsepsi abdi negara dan masyarakat kepada abdi individu-individu. Tidak heran kemudian, jika sampai hari ini kinerja ASN tidak menunjukkan performa terbaik. Karena itu tadi, terjadi demotivasi.

ASN tidak menempatkan dirinya sebagai pelayan masyarakat yang berfungsi melayani dan menunaikan hak-hak masyarakat dengan cara yang patut dan benar. Sebaliknya, oknum-oknum ASN justru mementingkan diri sendiri, memperkaya sanak keluarga dengan merampas hak-hak masyarakat atas kehidupan mereka yang seharusnya layak.

Berdasarkan laporan hasil pemantauan tren penindakan korupsi tahun 2022 ICW, dari 1.396 tersangka, 506 orang di antaranya berstatus sebagai ASN. Modus penyalahgunaan anggaran menjadi modus yang paling dominan digunakan oleh pelaku kasus korupsi. Modus lainnya yang sering digunakan adalah mark up dan kegiatan/proyek fiktif.

Kemudian jika dilihat dari penyebaran nilai indeks Reformasi Birokrasi Tahun 2021 di pemerintah daerah, Kabupaten/Kota dengan indeks reformasi birokrasi berkategori belum baik sebesar 74,21%. Sedangkan pemerintah Provinsi berkategori belum baik sebesar 20,59%. Lebih dari satu dekade kebijakan reformasi birokrasi, kinerja ASN tidak menunjukkan adanya indikasi transformasi. Yang terjadi justru kasus korupsi semakin menggila.

Berbagai indikator global yang mengukur kualitas tata kelola pemerintah juga menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal. 1) Corruption Perception Index (CPI) dari Transparency International. Pada 2021 Indonesia berada pada peringkat ke-96 dunia dengan skor 38, dan berada pada peringkat ke-5 di ASEAN, jauh di bawah Singapura (peringkat ke-4 dunia dengan skor 85), Malaysia, Timor-Leste, dan Vietnam.

2) Indikator Ease of Doing Business (EODB) Indonesia cenderung stagnan pada peringkat ke-73 dari 190 negara dan berada pada peringkat keenam di ASEAN. Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat memberikan pelayanan yang baik bagi investor yang berbisnis atau akan berbisnis di Indonesia. Ini merupakan sebuah ironi, mengingat Indonesia merupakan salah satu pasar utama bagi para investor global.

3) Indikator Government Effectiveness Index (GEI), Indonesia berada pada peringkat ke-73 dari ke-193 negara dan berada pada peringkat ke-5 di ASEAN. Kondisi ini tentu mencerminkan masih banyaknya permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, seperti: kualitas birokrasi, pelayanan publik, dan kompetensi aparat pemerintah.

4) Indikator E-Government Development Index (EGDI) oleh United Nations (UN) E-Government Survey 2020. Indonesia masuk di posisi ke-88 dunia dari 193 negara. Meskipun demikian, Indonesia masih berada jauh dari negara ASEAN, seperti Singapura yang berada pada peringkat ke-11 dunia, Malaysia, dan Thailand. Kondisi tersebut tentu mengisyaratkan bahwa masih banyak hal yang tertinggal dalam mewujudkan digital birokrasi di Indonesia. (Kemenpan RB)

Dari fenomena di atas, sulit sekali tidak mengatakan bahwa birokrasi kita mengalami disorientasi tata kelola. Minimnya penghayatan atas cita-cita bangsa dan sense of crisis atas suara-suara public menempatkan ASN tidak berada pada rel pengabdian yang tulus.

Penyebab Rendahnya Kinerja

Saya telah bekerja di birokrasi pemerintah selama kurang lebih delapan belas tahun. Saya mengamati berbagai aspek dan membaca berbagai fenomena di pemerintahan. Saya melihat, lingkungan ASN khususnya di pemerintah daerah tidak pernah didesain sebagai agen perubahan untuk mengakselerasi kesejahteraan masyarakat. ASN sejak lama justru terjebak pada pola kerja hierarkis, prosedural, ortodoks, dan tidak berorientasi pada kinerja.

Meski grand design reformasi birokrasi telah diundangkan sejak 2010, nyatanya birokrasi pemerintah tidak menghasilkan kinerja signifikan. Bahkan, warganet menganalogikan Karen’s Diner seperti birokrasi pemerintah. Selain itu, manajemen rekrutmen dan promosi ASN tidak berbasis pada mindset konstruktif, nalar kritis, dan kemampuan beradaptasi dengan perubahan-perubahan lingkungan strategis.

Kita terjebak pada pengetahuan-pengetahuan akademik. Padahal secara substansi, birokrasi pemerintah membutuhkan orang-orang visioner, orang-orang kritis dengan kemampuan mendobrak kekakuan regulasi dan pola kerja yang hierarkis. Karena itu, saya berharap bahwa rekrutmen PPPK ke depan tidak hanya sekadar mengandalkan akumulasi dari berbagai aspek pengetahuan akademik, tetapi lebih kepada kemampuan menjabarkan isu-isu strategis dalam komponen perencanaan yang berorientasi pada penyelesaian masalah.

Kemudian, fungsi pengawasan internal inspektorat tidak berjalan optimal. Minimnya intervensi dan evaluasi mendalam terhadap tata kelola birokrasi menyebabkan struktur organisasi mengalami disfungsi. Hal tersebut bisa kita lihat pada evaluasi dan monitoring perjanjian kinerja perangkat daerah. Audit kinerja hanya difokuskan pada kualitas penyajian dokumen. Belum kepada capaian kinerja substantif sebagaimana pola penjejangan kinerja dalam Permenpan RB Nomor 89 Tahun 2021. Minimnya pemberian sanksi kepada ASN atas rendahnya capaian kinerja berkontribusi pada rendahnya produktivitas ASN.

Reformasi Birokrasi Tematik

Kemenpan RB telah melakukan perubahan atas struktur kerja reformasi birokrasi tahun 2023-2024. Kemenpan RB tidak ingin pemerintah berkutat pada dokumen dan kertas-kertas kerja yang tidak memiliki dampak kepada masyarakat. Kemenpan RB mencoba bertransformasi dari birokrasi berbasis aturan kepada birokrasi tematik berbasis kinerja (outcome-nya jelas), Birokrasi berdampak (tak terjebak tumpukan kertas), birokrasi kolaboratif dan birokrasi melayani.

Reformasi Birokrasi Tematik merupakan strategi baru dalam Road Map RB 2020–2024 yang memiliki waktu pelaksanaan hingga tahun 2024. Dengan waktu yang terbatas, ditetapkan empat tema pelaksanaan RB Tematik yaitu pengentasan kemiskinan, peningkatan investasi, Digitalisasi Administrasi Pemerintahan, peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri (PDN) dan pengendalian inflasi.

Meski demikian, menurut saya, apapun tema reformasi birokrasi jika komitmen di pemerintah daerah tidak mengikat seluruh aparatur, maka desain reformasi birokrasi ini hanya sekadar angka-angka kemiskinan, angka investasi, indeks, dan berbagai persentase produk dalam negeri dan inflasi. Itu saja. Karena itu menurut saya, Kemenpan RB perlu mengambil langkah tepat. Maksudnya, Kemenpan RB harus mampu melakukan upaya perbaikan pola pikir dan karakter ASN. Jika reformasi birokrasi tidak menyentuh karakter individu-individu ASN, maka reformasi birokrasi hanya berhenti pada tataran angka-angka semata.

Kuncinya ada di ASN. Karena itu, beranikah kita melakukan audit kinerja aparatur dan mengambil langkah serius jika aparatur dengan kinerja rendah tidak lagi dapat dipertahankan di pemerintahan? Beranikah? Di pemerintah daerah, banyak sekali aparatur tidak produktif. Sangat disayangkan jika kehadirannya hanya menjadi beban keuangan negara. Mungkin, sudah saatnya kita bersih-bersih dari oknum-oknum aparatur yang tidak berkinerja.

Terima kasih telah membaca artikel

ASN dan Disorientasi Tata Kelola