Shopee Affiliates Program

Sekali Lagi tentang Ibadah di Masa Pandemi

Jakarta

Keputusan pemerintah untuk tidak mengirim jemaah haji tahun ini disambut riuh oleh beberapa kalangan. Ada yang menganggap pemerintah kurang serius dalam mengupayakan agar bisa memberangkatkan jemaah haji. Ada yang menyayangkan berlalunya kesempatan untuk beribadah. Ada pula yang menyebar hoax dan tuduhan-tuduhan tanpa dasar untuk menjelekkan pemerintah.

Ada soal-soal dasar dalam beragama yang sering dilupakan dan diabaikan orang dalam masa pandemi ini. Konyolnya, bukan hanya orang awam yang bersikap begitu. Tak sedikit orang yang berilmu, terpandang, dihormati, dan diikuti banyak orang yang bersikap demikian.

Keselamatan jiwa manusia ditempatkan paling tinggi dalam ajaran Islam. Ibadah memang diwajibkan, tapi kewajiban itu ditegakkan di atas adanya jaminan keselamatan saat melaksanakannya. Dalam suasana perang, misalnya, orang tetap wajib salat. Tapi salat dilakukan dengan tata cara yang menjamin keselamatan. Tidak boleh orang salat dengan mengabaikan ancaman bahaya serangan musuh, misalnya.

Dalam hal yang terkait dengan penyakit, prinsipnya tetap sama. Terlebih dalam urusan ibadah haji, yang memerlukan perjalanan jauh dan panjang. Aturan dasarnya sangat jelas, yaitu terjaminnya keselamatan dalam perjalanan pulang dan pergi. Keselamatan itu menyangkut kondisi tubuh seseorang yang akan melakukan ibadah, juga situasi perjalanan yang akan dia lalui. Orang sakit tidak boleh pergi haji. Tentu saja, kalau ada ancaman penyebaran penyakit menular, haji tak boleh dilaksanakan.

Sama saja aturannya untuk ibadah lain. Salat jemaah ke masjid itu sangat ditekankan. Tapi bila pergi salat ke masjid dan berjemaah itu menimbulkan mudarat, maka tak boleh kegiatan itu dilakukan. Menjaga keselamatan harus jadi prioritas.

Prinsip-prinsip dasar ini masih saja terus dilanggar oleh banyak orang. Akibatnya, ada sangat banyak kasus penularan yang terjadi di rumah ibadah dan pada kegiatan ibadah, atau kegiatan sosial perayaan agama. Ini menjadi satu faktor penyebab sulitnya mengendalikan pandemi ini.

Mengapa sulit benar mematuhi aturan itu? Ini sebenarnya bukan lagi soal ajaran agama, tapi soal rasa. Bagi orang yang tidak paham ajaran agama, yang beribadah hanya mengikuti orang lain, meninggalkan suatu ritual itu dianggap sebagai pembangkangan kepada Tuhan.

Bagi yang paham agama, meskipun ia tahu bahwa ritual itu boleh ditinggalkan, tetap saja ia merasa rugi, karena hilang kesempatan untuk mendapat pahala. Karena itu ia akan mencoba mencari-cari dalih dan mencuri-curi kesempatan untuk tetap melaksanakannya. Ia bertindak berdasarkan rasa, dengan mengabaikan akal.

Tapi soalnya bisa jadi lebih dari itu. Ini juga soal politik. Ada pihak-pihak yang punya kepentingan untuk terus bersuara berbeda dengan pemerintah.

Di awal masa pandemi dulu, misalnya, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo mengomel soal anjuran untuk tidak salat berjemaah ke masjid. Gatot ini bukan ulama, bukan pula tokoh organisasi Islam. Ia sekadar orang yang harus bersuara berbeda dengan pemerintah.

Soal haji ini, Haikal Hasan berkicau, meracau, menuduh pemerintah dengan tuduhan keji. Kemudian ia minta maaf. Apa tujuannya? Yang penting bisa mencela, untuk memuaskan para pengikutnya yang memang suka mencela.

Bukankah pemerintah perlu dikritik? Sebentar. Ini lagi-lagi soal yang perlu diluruskan. Hak tertinggi pemerintah itu adalah dipatuhi. Kewajiban tertinggi umat (rakyat) adalah mematuhi pemerintah. Ada ayat, ada hadis yang menegaskan soal itu. Kewajiban taat itu baru gugur kalau umat diperintah melakukan kemaksiatan. Jadi, bersuara berbeda dengan pemerintah tanpa dasar itu bisa merupakan pembangkangan, yang sebenarnya justru bertentangan dengan ajaran Islam.

Tapi bukankah pemerintah harus dikoreksi bila salah? Betul. Koreksi kesalahannya. Tapi bukan menuduh yang bukan-bukan, dengan tuduhan tanpa dasar. Tuduhan tanpa dasar bukan lagi kritik, itu fitnah.

Ada salah kaprah yang berkembang, seolah kalau berani bersuara berbeda dengan pemerintah itu keren, itu merupakan bagian dari amar ma’ruf dan nahi munkar. Itu salah. Tidak selamanya pemerintah itu salah. Pada bagian yang pemerintah tidak salah, berbeda dengan pemerintah itu bukan amar ma’ruf. Bersuara menentang pemerintah tanpa dasar itu bukan nahi munkar, tapi justru sebuah tindakan munkar.

(mmu/mmu)

Terima kasih telah membaca artikel

Sekali Lagi tentang Ibadah di Masa Pandemi