
Wajah Sepeda sebagai (Tran)sport

Jakarta –
Di Indonesia, sepeda dibawa oleh kolonial Belanda, yang seperti banyak hal bawaan kolonial lainnya kemudian menjadi dikenal dan umum dipakai hingga kini. Mekanisme penggunaannya yang sederhana membuat sepeda dapat digunakan untuk berbagai fungsi. Dari sebagai alat transportasi, kurir, olahraga, hingga sekadar hobi, menunjukkan kegunaan sepeda yang beragam yang kemudian menentukan desain dan model sepeda sesuai kegunaannya.
Model sepeda dan kegunaannya juga terus mengalami perubahan seiring zaman. Sepeda ontel, sepeda gunung, hingga seli pernah mengalami masa trennya sendiri, di mana semua masih bertahan hingga sekarang dan membentuk segmentasi pesepeda dalam masyarakat.
Tulisan ini masih mengikuti dan menanggapi perkembangan bahasan ramai terbaru mengenai pesepeda dalam kontestasi jalan raya. Kebetulan 3 Juni merupakan peringatan Hari Sepeda Dunia atau World Bicycle Day. Bahasan dalam tulisan akan mengerucut pada fenomena bersepeda dalam perkotaan (urban cycling), juga segmentasi sepeda sebagai sport (olahraga) dan alat transportasi, tipologi yang menurut saya cukup tepat dan representatif –terlepas dari Anies Baswedan yang gemar mengolah kata.
Fenomena Terbaru
Diskursus terbaru mengenai sepeda, kegiatan bersepeda, dan para pesepeda ialah kembali munculnya tren sejak pandemi, yang sudah berlangsung hampir satu tahun. Dimulai dari dampak kebijakan antisipasi penyebaran virus, lockdown, dan pembatasan fisik di banyak negara dunia mendorong masyarakat memilih cara mobilitas yang cukup efektif menghindari penyebaran, salah satunya dengan bersepeda. Kebanyakan terjadi di kota-kota Eropa.
Beberapa saat setelah itu, ternyata muncul juga tren bersepeda di kota-kota di Indonesia. Sempat disinyalir merupakan terusan dari tren di Eropa, nyatanya tren bersepeda di Indonesia belum bisa diparalelkan dengan Eropa. Sebab, tren bersepeda di Indonesia yang terjadi sejak pandemi ini tidak didominasi oleh pesepeda kantoran atau pekerja, melainkan kebanyakan sebagai hiburan atau olahraga. Lain halnya dengan kota-kota di Eropa di mana bersepeda menjadi pilihan alat mobilitas yang bisa menggantikan peran kendaraan bermotor pribadi.
Untuk memahami fenomena ini, kita harus memahami tipologi pesepeda perkotaan. Tidak sesederhana sport dan transport, Rosa Felix dkk.dalam artikelnya, Typologies of Urban Cyclist: Review of Market Segmentation Methods of Planning Practice (2017) dalam Journal of the Transportation Research Board merangkum berbagai tipologi pesepeda perkotaan dari banyak studi kasus di berbagai negara. Tipologi tiap lokasi studi berbeda-beda, ada dari 3 tipe hingga 9 tipe, dengan basis frekuensi, tujuan/motivasi, hingga latar belakang demografi. Felix (2017) merangkumnya menjadi regular cyclist, potential cyclist, dan non-cyclist.
Potential cyclist (termasuk pesepeda sport/rekreasional), segmen yang mungkin dapat menjelaskan tren bersepeda terbaru di Indonesia, bukan regular cyclist yang menjadikan bersepeda sebagai penunjang mobilitas harian. Pada tahap bahasan ini, Felix (2017) menyebut suatu ukuran “kematangan” bersepeda pada suatu kota/kawasan, yaitu cycling maturity. Cycling maturity ini didasarkan pada dua hal, yaitu infrastruktur bersepeda dan keberterimaan bersepeda (acceptance of cycling). Artinya, banyaknya porsi regular, potential, maupun non-cyclist bisa disebabkan oleh infrastruktur dan keberterimaannya.
Pada konteks Indonesia, keberterimaan bersepeda bisa dilihat pada tren. Pada era tren sepeda gunung, BMX, atau saat ini, bersepeda dapat diterima karena banyak yang melakukan. Namun keberterimaan ini dapat turun/hilang lagi ketika tren mereda, atau ada imaji buruk pada pesepeda. Aspek infrastruktur juga dapat mempengaruhi frekuensi dan banyaknya pesepeda, yang ketika ada infrastruktur yang memberikan rasa aman, dapat menarik minat masyarakat bersepeda.
(Ber)sepeda untuk Berkelanjutan
Membahas tipologi pesepeda cukup menjelaskan fenomena dan kausalitas. Namun untuk proyeksi ke depannya, tipologi dan cycling maturity dapat dijadikan sebagai planning practice (Felix, 2017). Kota dan masyarakatnya dapat merencanakan kultur bersepeda apa yang akan dibentuk. Hal ini yang sebenarnya telah lama dilakukan komunitas seperti ITDP Indonesia, Bike to Work (B2W) Indonesia, dan Koalisi Pejalan Kaki (Kopeka). Dalam rencana besar perencanaan mobilitas berkelanjutan, bersepeda, berjalan kaki, dan penggunaan transportasi publik menjadi pilihan yang layak diprioritaskan.
Pada November 2020 lalu, Bike to Work dan Kopeka berkolaborasi dalam mengampanyekan walking and cycling as a new trend in the post-pandemic. Ketika itu kami masih mengira-ngira, bagaimana keberlanjutan tren bersepeda –yang saat itu sedang merebak– pada masa setelah pandemi? Begitu juga dengan berjalan kaki, sebagai cara mobilitas yang tidak mengeluarkan polusi dan minim emisi karbon. Dengan preseden yang dimiliki kota-kota di Indonesia, bisakah kita mengejar ketertinggalan dari kota-kota di Eropa untuk menjadikan wajah kotanya ramah pejalan kaki dan pesepeda?
Untuk mencapai tujuan tersebut, pembangunan keterhubungan infrastruktur pesepeda, pejalan kaki, dan transportasi publik merupakan hal krusial. Jalur sepeda terproteksi seperti yang sudah dipasang di Jl. Sudirman, Jakarta Pusat merupakan salah satu hasil advokasi Bike to Work untuk menunjang keamanan dan keselamatan pesepeda. Mengenai realitas keterpakaiannya (yang masih minim bahkan dilewati kendaraan lain), menjadi tahap selanjutnya dalam membentuk budaya bersepeda. Seperti halnya jalur Transjakarta pada awal-awal pemasangannya, juga mendapatkan kritik karena dianggap mempersempit jalan.
Pada akhirnya, kegiatan bersepeda dalam beberapa hal dapat menjadi rekreasi, olahraga, maupun sarana mencari kebugaran. Dalam hal lainnya, bersepeda sebagai cara mobilitas dapat menjadi solusi berkelanjutan bagi budaya mobilitas yang telah lama didominasi kendaraan bermotor pribadi. Lalu pada kontestasi ruang jalan, tetap ada yang namanya aturan lalu lintas, yang tetap harus dipatuhi oleh pesepeda maupun pejalan kaki.
(mmu/mmu)
Wajah Sepeda sebagai (Tran)sport
