Mari Merayakan Perceraian

Jakarta – Saya adalah tipe orang yang kurang suka berada dalam grup WhatsApp. Tidak lebih dari 10 grup WhatsApp yang saya punya. Saya hanya aktif di grup-grup ini: grup kantor, grup komunitas, grup kelas, grup reseller buku, dan grup rasan-rasan yang isinya hanya tiga orang kurang kerjaan. Selebihnya silent reader. Tapi saya orang yang aktif dalam WhatsApp. Kalau tidak tidur atau sedang repot mengerjakan sesuatu pasti saya balas dengan cepat pesan yang masuk.

Suatu ketika ada pesan yang masuk di sebuah grup yang berhasil membuat dahi saya berkerut. Jujur saya hampir lupa kalau ada grup ini dan saya lupa dulu grup itu dibuat dalam rangka apa. Pesan yang masuk adalah pesan terusan, begini bunyinya: Lur, nek ada yang mau menikah atau saudara dan kenalannya butuh jasa foto prewedding atau MUA, kontak aku ya.

Belum ada yang merespons. Sebenarnya saya lumayan bingung, teman saya satu ini jasa foto dan make-up artist yang diurus istrinya lumayan punya nama di kota tempat saya tinggal. Tidak harus repot-repot mengirim pesan seperti itu biasanya sudah banyak yang mengantre. Tidak lama kemudian ada teman lain di grup yang merespons dengan pertanyaan; tumben menjapri di grup, bukannya sudah banyak orderan.

Teman saya yang mengirim pesan tadi membalas, karena efek pandemi, jadi harus jemput bola. Oh iya, bahkan saya hampir lupa kalau Covid-19 masih eksis. Saya pikir sekarang sudah banyak orang yang mengadakan acara atau kalau tidak ramai-ramai pun mereka tetap butuh dandan dan foto, saya kira hal tersebut sudah tidak terlalu berimbas. Ternyata saya keliru.

Boro-boro menikah, cerai iya.

Sebuah pesan yang masuk membuat grup jadi hening. Mungkin bingung mau merespons bagaimana. Saya pun hanya diam karena jujur sudah lama tak mendengar kabar seorang teman ini. Kabar terakhir yang saya tahu, ia sedang bahagia atas kelahiran putri pertamanya. Lha kok ini bilang mau cerai?

Heh, maksudmu piye, Bund? Tulis teman yang lain.

Iya, Bund. Aku mau cerai. Pegatan. Bubar. Doane saja ya, Bund. Jelasnya.

Tiba-tiba grup jadi ramai. Anggota grup yang lain memberi dukungan pada teman yang mau cerai tadi. Saya bersyukur grup ini dihuni orang-orang yang sibuk memberi semangat, bukan sibuk bertanya apa yang terjadi. Saya sendiri akhirnya ikut merespons dengan menawarkan memberikan satu buku karya Virly berjudul Live as Divorcee yang saya pikir cocok untuk teman saya tadi. Saya masih ingat ia dulu orang yang suka membaca buku. Dulu sebelum hamil ia sering hadir di acara bincang buku yang diadakan komunitas sastra di kota tempat saya tinggal.

Dengan pengakuan teman tadi, bertambah pula daftar teman saya yang bercerai di saat pandemi. Tiga teman yang saya kenal sudah resmi bercerai. Ada yang karena masalah ekonomi, KDRT, dan selingkuh. Pandemi memperparah masalah mereka yang sebelumnya memang sudah berat. Masa-masa orang gampang tersulut emosi.

Eh, Bund, tapi habis cerai mau foto-foto ya nggak papa lho. Kalau pernikahan bisa dirayakan, kenapa perpisahan tidak? Itu sudah ada tukang fotonya. Kata seorang teman di grup.

Ngawur we, Mbak. Masa aku suruh motret orang cerai? Respons teman yang mencari job foto tadi.

Saya hampir saja merespons dengan bilang, “Ya nggak papa sih motret orang habis cerai. Itu penggali kubur saja dapat uang dari orang mati.” Tapi untung saja belum jadi saya kirim. Saya pikir kok saya tidak punya empati juga. Grup pun menjadi ramai lagi. Kali ini mereka menceramahi teman yang nyeletuk soal ide merayakan perpisahan yang dinilai tidak punya empati.

Saya pun menengahi perdebatan itu dengan mengirim tangkapan layar status teman di Facebook yang menulis tentang merayakan perpisahan. Di luar negeri hal itu sudah lumrah. Jadi tidak hanya pernikahan saja yang diabadikan, tapi juga perceraian. Jika pisahnya baik-baik, bisa foto sama mantan suami, kalau pisahnya tidak baik-baik, bisa foto sendiri.

Intinya saya menangkap maksud teman yang memberikan saran tadi. Hal tersebut sebagai salah satu bentuk ekspresi kebebasan seseorang yang baru saja bercerai. Ya memang hal itu belum menjadi sesuatu yang umum di masyarakat kita. Perceraian masih dianggap aib. Teman saya yang mencari job foto tadi tidak sampai hati melakukannya.

Belum lama ini ada seorang teman yang membagikan tautan sebuah hasil survei bahwa kota tempat ia tinggal menjadi kota dengan kasus perceraian tertinggi seprovinsi dan guru menjadi profesi yang paling banyak melakukan perceraian. Ia kebetulan berprofesi sebagai guru dan baru saja bercerai.

Di tautan aslinya, banyak komentar miring soal guru yang bercerai. Guru kok cerai, mengatur rumah tangga sendiri saja tidak bisa kok mau mendidik muridnya, guru kok tidak bisa memberi contoh yang baik, dan sebagainya. Teman saya tadi mengeluarkan unek-uneknya, kenapa perceraian harus disangkutpautkan dengan profesi. Semua orang bisa menikah, semua orang juga bisa bercerai. Apalagi ketika sudah bercerai ia menyandang status janda, status yang masih mendapat stereotip yang kurang baik di masyarakat kita.

Saya ingat hasil survei beberapa tahun lalu yang menyatakan kabupaten tempat saya lahir kasus perceraian meningkat pesat. Yang membuat saya mangkel judul laporan hasil survei itu ditulis begini: Akibat Meningkatnya Kasus Perceraian, Bertambah Lagi Janda di Kabupaten X. Loh hasil perceraian kan ada janda dan ada duda, kenapa duda tidak disebut? Nyebahi sekali!

Saya sendiri tidak berani komentar dengan rumah tangga orang lain. Apalagi saya sendiri belum menikah. Saya mengaku kalau saya juga masih ada rasa mangkel dengan beberapa publik figur tertentu. Saya kadang masih julid dengan beberapa politikus, penceramah agama yang saya nilai wagu, atau selebritis yang “embuh” kelakuannya. Tapi ketika mereka bercerai, saya tidak pernah berkomentar. Menurut saya berumah tangga itu tidak mudah, tidak ada rumus pasti. Jadi saya tak mau ikut-ikutan sok tahu dengan permasalahan rumah tangga mereka.

Saya suka heran dengan lemasnya jari orang-orang yang gampang menghakimi pasangan yang bercerai, seperti kasus perceraian seorang selebgram baru-baru ini. Bahkan topik itu jadi melebar ke mana-mana, sampai sentimen agama karena ada agama tertentu yang berbeda hukum tentang perceraian. Seharusnya tidak usahlah sampai mengurusi syariat agama orang lain. Bahkan di agama yang saya anut, perceraian sendiri adalah jalan terakhir. Perbuatan halal yang dibenci Allah.

Dalam buku Live as Divorcee yang saya baca, Virly mengibaratkan perceraian adalah tangga darurat ketika lift macet. Ya memang kita bisa memilih opsi menunggu lift diperbaiki. Iya kalau cepat dan lancar, kalau lama dan semakin menambah masalah?

Halah, jangankan mereka yang bercerai dari yang sebelumnya memang ada ikatan pernikahan. Wong saya ketika putus dengan pacar saja tidak sedikit orang yang menghakimi. Kenapa putus lagi, apa sih yang kamu cari, loh pacarmu itu ganteng lho, ah pasti karena kamu yang nggak biasa pacaran, terbiasa sendiri, pasti karena kamu terlalu pinter, kamu terlalu mendominasi jadi pacarmu jadinya nggak betah, dan sebagainya yang hampir semuanya menyalahkan saya.

Entah apa di pikiran orang-orang itu kenapa hanya saya yang disalahkan, padahal hubungan ini dilakukan dua orang. Saya dengan mantan pacar sebenarnya juga masih berkomunikasi, kami tidak bermusuhan. Tapi kami tidak bisa melanjutkan hubungan kami lagi. Kami hanya ingin berhenti menyakiti satu sama lain. Seperti teman saya yang akan bercerai tadi, dari luar setahu saya harmonis-harmonis saja, tapi ternyata banyak luka yang ditanggungnya.

Eh, kalau dipikir-pikir, ide foto-foto itu bagus lho. Kayaknya aku butuh refreshing dan mengabadikan momen dengan anakku. Itung-itung kasih job ke teman. Tapi tunggu setelah proses perceraianku selesai ya.

Saya hampir tidak percaya dengan pesan yang baru saja masuk setelah geger gedhen ide foto pasca perceraian tadi. Tidak disangka teman saya yang sedang menjalani proses perceraian itu menerima ide teman lain yang sempat dihujat mayoritas anggota grup. Teman yang mencari job foto tadi walau agak tidak enak tapi sebenarnya ia juga senang mendapatkan job yang ia cari, walau bukan foto prewedding seperti yang ia tawarkan. Ia tetap tidak mau terang-terangan membuka jasa foto pasca perceraian, tapi ia mulai bisa menerima ide tentang merayakan perpisahan.

Saya pikir pertemuan dan perpisahan memang sebuah keniscayaan, kalau tidak berpisah lahir, kita semua toh juga akan mati nantinya. Seperti kata simbah saya dulu, urip mung silih gumantining sapatemon lan pepisahan. Hidup hanyalah silih bergantinya pertemuan dan perpisahan. Merayakan perceraian? Kenapa tidak?

Gondangrejo, 3 Maret 2021

Impian Nopitasari penulis cerita berbahasa Indonesia dan Jawa, tinggal di Solo

(mmu/mmu)

Terima kasih telah membaca artikel

Mari Merayakan Perceraian