
Hakim MK Suhartoyo: Pendelegasian UU Hanya Mengatur Teknis Administrasi

Jakarta –
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo menegaskan pendelegasian yang lahir dari UU hanya mengatur teknis administrasi. Hal itu sudah ditegaskan dalam Putusan MK.
Hal itu disampaikan saat mengadili judicial review UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Judicial review itu diajukan oleh warga Karo, Sumatera Utara (Sumut) Surianingsih. Di mana Pasal 43 ayat 1 yang dimaksud berbunyi:
Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, UU mendelegasikan hal di atas ke Peraturan Menkeu. Pasal 43 ayat 4 berbunyi:
Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
“Tapi pertanyaannya ini sebenarnya begini, supaya tidak berkelanjutan. Persoalan Pasal 43A ayat (4) sudah klir, ada putusan MK. Bagaimana yang namanya pendelegasian tidak boleh mengatur lebih dari teknis administratif. Itu sudah selesai,” kata Suhartoyo yang tertuang dalam risalah sidang sebagaimana dilansir website MK, Kamis (26/10/2023).
Oleh sebab itu, maka menjadi pertanyaan bagi Suhartoyo, apakah upaya paksa berdasarkan Pasal 43 ayat 4 juga bisa dibawa ke praperadilan.
“Kalau kemudian substansi yang kemudian diatur dari yang berasal dari Pasal 8 itu katanya karena itu haram karena melalui delegasinya yang tidak legal dibawa ke 43A, itu bisa tidak itu genus-nya adalah upaya paksa yang kemudian bisa dibawa ke praperadilan? Itu loh pertanyaannya,” ucap Suhartoyo.
Suhartoyo meminta ketegasan ahli yang hadir dalam sidang itu.
“Bapak tolong kami diberi clearance. Ini barang ini bisa masuk enggak pada upaya paksa? Sehingga pendapat Bapak itu juga terjawab bahwa ini bisa dibawa ke ranah praperadilan,” tanya Suhartoyo.
Menjawab pertanyaan itu, ahli Mudzakkir menyatakan norma yang diuji itu merupakan norma yang inkonstitusional. Sebab menjadi abu-abu, apakah sudah masuk wilayah penyelidikan/penyidikan atau belum.
“Jadi kalau itu diujikan di sini menurut Ahli tidak tepat karena yang diatur itu justru itu, awal mula keraguan-keraguan itu adalah disamakan dengan penyidikan/penyelidikan, bukan disamakan dengan penyidikan, tapi disamakan penyelidikan. Tapi bukan penyelidikan. Akibatnya apa? Enggak bisa diuji. Apakah dia projustitia? Jadi menarik lagi, kalau itu projustitia, jelas bahwa itu bisa diuji. Tapi nonprojustitia,
tapi menggunakan wewenangnya sangat besar, gitu,” ucap Mudzakkir.
“Jadi kalau projustitia masih jelas, memang penyidik itu projustitia, jadi kewenangannya jelas. Tapi begitu nonprojustitia, tapi kewenangannya besar, enggak imbang lagi dengan apa yang Ahli sampaikan tadi. Itulah yang menurut Ahli Pasal 43 itu mengandung unsur inkonstitusionalitasnya disebabkan karena menggunakan term yang tidak jelas. Konsekuensi tidak jelas itu lahirlah peraturan Menteri Keuangan juga menurut pendapat Ahli adalah adalah tidak jelas kewenangan mengaturnya itu, itu masuk penyelidikan atau penyidikan,” sambung Mudzakkir.
Sebagaimana diketahui, Surianingsih meminta:
1. Menyatakan frasa ‘pemeriksaan bukti permulaan sebelum penyidikan’ Pasal 2 Angka 13 Pasal 43A ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘pemeriksaan bukti permulaan yang merupakan bagian penyidikan’
2. Menyatakan frasa ‘Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan’ dalam Pasal 2 Angka 13 Pasal 43A ayat (4) UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis-administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara’
“Bahwa dalam pemeriksaan bukti permulaan dapat dilakukan upaya paksa. Akan tetapi, terhadap upaya paksa tersebut tidak terdapat perlindungan hukum bagi,” kata kuasa hukum pemohon, Cuaca Teger.
(asp/isa)
Hakim MK Suhartoyo: Pendelegasian UU Hanya Mengatur Teknis Administrasi
