
Menghadapi Era Pasca-Covid

Jakarta –
Pandemi COVID-19 telah memberi kita banyak pelajaran dari berbagai sudut pandang. Dari sudut pandang penyakit menular, misalnya, satu virus yang kemudian secara berurutan terus bermutasi, tidak hanya menyebabkan dampak bencana yang luar biasa tidak hanya untuk satu atau sekelompok negara, tetapi juga telah membentuk peradaban baru manusia di seluruh dunia.
Perlu diingat bahwa virus SARS CoV-2 yang menyebabkan pandemi COVID-19 bukan satu-satunya yang ada di sekitar kita. Ada ratusan bahkan ribuan mikroba patogen lain (tidak hanya virus) yang menyebabkan penyakit yang lebih ringan, serupa, atau bahkan lebih parah daripada COVID-19. Beberapa di antaranya adalah Virus Dengue penyebab Demam Berdarah, Chikungunya, Demam Kuning, Polio, Tuberkulosis, Malaria dan munculnya mikroba resisten terhadap antibiotik atau obat.
Juga, harap diingat bahwa ada miliaran mikroba dalam berbagai bentuk kehidupan di alam yang awalnya tidak dapat menginfeksi manusia, karena perubahan lingkungan tertentu, suatu hari nanti akan memiliki kemampuan untuk menular. Artikel singkat ini tidak dimaksudkan untuk membuat kita takut dengan apa yang sedang dan mungkin terjadi di masa depan, namun lebih untuk menjadi pengingat bagi kita semua, terutama para pemimpin atau pengambil keputusan untuk menyikapi peristiwa pandemi ini dengan serius. Pengambil keputusan harus mengambil tindakan yang diperlukan dalam menangani situasi saat ini dan situasi yang mungkin terjadi di masa depan.
Pandemik ini juga telah mengajarkan kepada kita bahwa dalam banyak hal negara kita belum memiliki kesiapan yang memadai dalam menghadapi kejadian dengan skala seperti ini. Maka itu, menurut hemat saya, pandemi ini adalah momentum yang sangat tepat bagi kita sebagai negara untuk mempersiapkan segala sesuatu yang kita butuhkan dengan sebaik-baiknya untuk menghadapi peristiwa seperti itu terjadi di masa depan.
Pertama, meningkatkan dan memperluas infrastruktur kesehatan dan sumber daya manusia tidak hanya dari segi jumlah, tetapi juga dari segi kualitas. Sehingga rasio antara penduduk dengan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit misalnya, akan lebih proporsional (jika tidak ideal) dan pelayanan yang diberikan memenuhi syarat minimal.
Jumlah rumah sakit ini tentu tidak cukup untuk menampung sekitar 280 juta orang Indonesia. Menurut Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) (2021), rasio tempat tidur rumah sakit terhadap populasi di Indonesia adalah 1:1000, yaitu sekitar 0.1 persen dari jumlah penduduk. Jumah ini relatif sangat rendah dibandingkan dengan negara lain seperti Jepang dengan 13,05:1000 sebagai negara tertinggi untuk rasio tempat tidur rumah sakit terhadap penduduk.
Tidak mengherankan, pada masa puncak pandemi COVID-19 seperti yang pernah terjadi, dengan persentase kasus sekitar tiga persen, rumah sakit tidak dapat menampung jumlah pasien yang ada.
Kita tidak bisa hanya terus membeli vaksin dari luar negeri, bukan hanya karena harganya yang lebih mahal, tetapi juga mungkin ada masalah kesesuaian vaksin untuk patogen lokal serupa. Belum lagi aspek lain seperti isu politik dan ekonomi yang menyertai yang dapat mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil.
Untuk sektor farmasi khususnya, Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat kaya baik di darat maupun di laut yang telah digunakan sebagai sumber obat selama berabad-abad. Potensi ini menjadi daya tarik tersendiri dari berbagai negara baik pemerintah maupun swasta untuk menemukan obat dari produk alam Indonesia. Hal ini harus dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan bangsa.
Ketiga, melaksanakan kegiatan surveillance untuk emerging and reemerging pathogens. Kegiatan surveillance sangat penting untuk mengantisipasi munculnya mikroba pathogen seperti virus yang terjadi saat ini. Deteksi dini adanya mikroba berbahaya ini sangat menentukan pengendalian dan langkah-langkah lain yang perlu dilakukan.
Keempat, meningkatkan kapasitas laboratorium keselamatan biologi (biosafety laboratory) baik dari segi kuantitas maupun kualitas yang meliputi tingkat biosafety yang berbeda dari tingkat satu sampai empat (BSL 1 – BSL 4). Fasilitas laboratorium yang memadai sangat diperlukan untuk melakukan berbagai kegiatan baik penelitian dan pengembangan, maupun sebagai fasilitas pendukung untuk kegiatan surveillance.
Kelima, mempromosikan dan mempercepat rekayasa sosial dalam rangka merevolusi perilaku manusia dalam meningkatkan gaya hidup baik untuk kesehatan individu maupun lingkungan. Perilaku manusia memainkan peran penting dalam memastikan bahwa kita berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup umat manusia dan pada saat yang sama mendukung lingkungan yang berkelanjutan dan sehat.
Kholis Abdurachim Audah, Ph.D Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, dan Dosen Senior (Biomedical Engineering Department) Swiss German University Alam Sutera, Banten
(mmu/mmu)
Menghadapi Era Pasca-Covid
