
Adzan Toa Mubah, Tapi Memaki, Ulama Sepakat: Dosa!

Jakarta –
Tahu-tahu Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mendapat serangan bertubi-tubi. Verbal maupun tulisan. Ia dikuliti dari semua sisi. Nyaris tak tersisa kebaikan pada dirinya, hatta untuk ukuran manusia, sebagai makhluk ciptaan Allah paling sempurna. Semua ini berawal saat dia menjawab pers terkait toa yang digunakan sebagai pelantang adzan. Padahal, masalah ini sudah ada sejak 1978, lewat instruksi Dirjen Bimas Islam.
Sejumlah komunitas di beberapa daerah menyampaikan kecaman. Sebuah lembaga sosial di Sumatera merilis pernyataan sikap, mendesak Presiden Jokowi agar menimbang ulang posisi Gus Yaqut sebagai menteri. Bahkan, demikian vulgar serangan itu, hingga tersebar meme di grup-grup layanan pesan, gambar seekor anjing ; badan berkaki empat dan berkepala sang menteri (maaf). Ekspresi yang melampaui tata nilai kepantasan.
Sejatinya, persoalan penggunaan toa, atau apa pun itu, sebagai pelantang adzan adalah perkara mubah. Sebuah standar hukum paling lentur dalam fiqih. Ia berada di bawah wajib dan sunnah. Ia berada di tengah-tengah setelah makruh dan haram. Paling jauh, kalau hendak ditarik ke ranah hukum, ia berada di spektrum ikhtilaf. Artinya; toa boleh digunakan jika mengandung maslahah dan boleh ditinggalkan jika menuai mafsadah.
Jadi, dalam kaitan ini, semua ulama bisa saja berbeda pendapat. Semua mazhab bisa memiliki pandangan yang tidak sama tentang alat untuk melantangkan panggilan shalat. Semua mufti bisa memiliki landasan “istidlal”. Tapi tindak melancarkan serangan, menghina secara “hamz” dan “lamz”, menjatuhkan harkat dan martabat sesama muslim, semua ulama dari semua mazhab sepakat menetapkan hukumnya : haram dan dosa besar.
Sindiran Rumi
Dalam Matnawi, kitabnya yang biasa dikaji di lingkungan pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama (NU), Jalaluddin Rumi menulis sebuah kisah. Syahdan, seorang muazin melantangkan adzan dari menara masjid. Suaranya yang tidak terlalu bagus, mengudara, membelah langit negeri nonmuslim. Banyak jamaah minta dia agar tidak memaksakan diri. Tapi ia tetap mengumandangkan adzan setiap kali datang waktu shalat.
“Janganlah kamu mengumandangkan adzan untuk memanggil orang shalat. Kita hidup di tengah mayoritas nonmuslim. Kami cemas, adzanmu menyebabkan pertentangan sehingga menimbulkan keresahan,” saran jamaah. Tapi ia menolak. Ia bahkan merasa tengah berjihad menegakkan syariat Allah di tengah kaum yang belum tersentuh Islam. Baginya, meninggalkan adzan adalah tindak pengkhianatan paling memalukan.
Merasa sedang memegang bendera perang, muazin pantang mundur. Dia yakin akan diancam Tuhan karena tidak menyampaikan risalah walau satu ayat. Di saat jamaah muslim sedang di masjid, seorang nonmuslim datang. Ia membawa jubah berkilau, lilin dan manisan. Dengan penuh persahabatan, orang itu berulangkali bertanya. “Mohon katakan kepadaku, di mana tukang adzan itu,” katanya. Semua diam. Mereka tampak kuatir.
“Tunjukkan di mana saya bisa menemuinya. Setiap kali dia adzan, suaranya telah menambah rasa bahagia di hatiku.” “Kebahagiaan apa yang dapat Anda peroleh dari suara yang jelek itu ?” tanya jamaah. “Suara muazin itu menelusup masuk lewat tingkap-tingkap gereja, tempat kami tinggal. Saya punya seorang anak gadis yang sangat cantik, berakhlaq mulia, dan sangat bersemangat belajar agama.”
Pendeta itu bercerita, anaknya berdoa agar Tuhan mengirimkan untuknya seorang pria beriman. Kecintaan akan iman telah mengantarkannya pada harapan agar bisa masuk Islam. Ini benar-benar membuat pendeta masygul luar biasa. Ketidaktenangan perlahan merayap dalam hatinya. Ia sedih. Ia cemas. Ia berharap Tuhan tak mengabulkan harapan anaknya. Di atas langit sana, sedang ada pertarungan doa dengan versi yang tidak sama.
Perintang Iman
Singkat cerita, suatu waktu, anak perempuan itu mendengar suara sang muazin sedang adzan. “Suara apa itu ? Belum pernah saya mendengar suara sejelek itu sepanjang hidup saya.” Saudara perempuannya menjelaskan bahwa itu suara adzan, panggilan shalat untuk ibadah kaum muslimin. Si gadis geram. Perlahan, suara jelek itu menanam kebencian dalam hatinya. Sejak itu, ia menarik semua doanya dan membatalkan keinginanya untuk masuk Islam.
“Ini yang membuat saya bahagia. Saya akan memberikan hadiah istimewa ini kepada muazin itu,” seru pendeta. Ketika akhirnya bertemu, pendeta itu menyerahkan semua hadiah dan berkata, “Duhai Muazin. Seandainya saya memiliki kekayaan yang melimpah, saya akan senang hati memenuhi mulutmu dengan emas. Lewat mulutmu itu, suaramu telah melepaskan siksa batin yang selama ini membelanggu jiwaku.”
Parodi yang dikisahkan Rumi ini mengandung sindiran, pesan halus yang menghentak kesadaran terdalam kita. Adzan, meski ia merupakan alat kelengkapan ibadah, bisa menjadi perintang datangnya hidayah jika menggunakan suara (wasilah) yang jelek. Hatta, gadis yang yang sudah tekun sekian lama belajar teks agama, jadi berubah sikap akibat pengamalan teks agama yang lebih mementingkan kulit dari pada isi dan substansi.
Di ujung kisah, Rumi menyebut nama Bayazid. “Keimanan kamu, wahai Muslim, hanyalah kemunafikan dan kepalsuan. Seperti ajakan tentang adzan itu, yang alih-alih membawa orang ke jalan hanif, malah mencegah orang dari kebenaran. Betapa banyak penyesalan masuk ke dalam hatiku dan betapa banyak kekaguman karena iman dan ketulusan Bayazid merasuk ke jiwaku.” Bayazid adalah perintis jalan kesucian menuju Tuhan.
Pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Rumi ini, yaitu mengenai adanya dua bentuk keberagamaan. Pertama ; mazhab yang mewakili ekspresi kesalehan artifisial, polesan dan kulit luar saja. Hal itu ditunjukkan lewat “kegenitan” muazin yang memaksa, mesti suaranya akan jadi penghalang menuju kebenaran. Kesalehan kedua, adalah jalan kesucian yang ditempuh Bayazid Bisthomi ; mementingkan isi di atas kulit dan teks keagamaan.
Akhirul Kalam
Di mana pun kontroversi seputar pengaturan pelantang adzan nanti bermuara, satu yang mesti kita jaga ; hindari sebisa mungkin hal-hal yang menjurus pada tindak penistaan. Terlebih, tak ada yang bisa ditarik kesimpulan bahwa Gus Yaqut tengah membandingkan adzan dengan gongongan anjing. Kalau benar ia memaksudkan itu, sungguh naif. Tapi, apa iya Gus Yaqut setega itu memperlakukan adzan ? Saya yakin seyakin-yakinnya : tidak. (*)
* Ishaq Zubaedi Raqib
Penulis adalah pembaca “Khozinatul Asror” di Pengajian Kitab Kuning Masjid An Nur, RW 010 Pasirangin, Cileungsi, Bogor,-
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)
(erd/erd)
Adzan Toa Mubah, Tapi Memaki, Ulama Sepakat: Dosa!
