Seperti Halnya India dan Indonesia, Operator Australia Juga Terlibat Perang Tarif

Jakarta, – Pasar selular Australia menurun untuk pertama kalinya dalam satu dekade karena jumlah koneksi menurun dan roaming internasional anjlok, dengan analis perusahaan Telsyte memperkirakan sektor tersebut akan tetap di bawah tekanan selama dua tahun ke depan.

Hingga akhir Juni 2020, pendapatan layanan selular tercatat turun 4 persen menjadi AUD13 miliar ($ 9,5 miliar) karena dampak dari tindakan penguncian Covid-19 (virus corona). Telsyte mengatakan Optus dan TPG Telecom (yang baru-baru ini bergabung dengan Vodafone Hutchison Australia) paling terpengaruh, sementara pemimpin pasar Telstra mempertahankan pangsa pasarnya karena kinerjanya yang kuat dalam kategori mobile IoT.

Jumlah koneksi mobile hanya mencapai 36,2 juta pada akhir Juni, 62.000 lebih rendah dari akhir Desember 2019. Telsyte mengaitkan penurunan tersebut dengan penurunan 5 persen pada langganan prabayar. Segmen MVNO melawan tren penurunan karena konsumen mencari kesepakatan untuk mengelola pengeluaran mereka, terhitung 16 persen dari semua layanan yang beroperasi pada akhir Juni, 2 poin persentase lebih tinggi setiap tahun.

Telsyte memperkirakan jumlah layanan seluler yang beroperasi akan tetap pada tingkat yang sama selama 12 bulan hingga 18 bulan ke depan, dengan konsolidasi layanan lebih lanjut yang mengarah pada peningkatan persaingan. Mereka mengharapkan lebih banyak konsolidasi pasar karena operator mencari merger untuk pertumbuhan. Analis senior Alvin Lee mengatakan konsumen akan menjadi pemenang besar dalam 12 bulan ke depan, karena penyedia layanan memperebutkan penawaran menarik.

Telsyte mengantisipasi permintaan untuk smartphone 5G akan lepas landas pada 2021 karena cakupannya meningkat dan model kelas menengah yang lebih terjangkau tersedia. Kurang dari 15 persen smartphone yang terjual dalam periode enam bulan terakhir, dengan jumlah pelanggan 5G tercatat kurang dari 500.000.

Dengan menurunnya pasar selular di Asutralia, negerikanguru itu mengikuti jejak dua negara di Asia yang terus terlibat dalam perang tarif, India dan Indonesia. Seperti diketahui, untuk menarik animo pelanggan, operator baru Reliance Jio muncul pada 2017. Operator ini nekat memberikan promo besar-besaran yaitu layanan jaringan seluler 4G gratis selama berbulan-bulan.

Untuk bisa merebut pangsa pasar, Reliance Jio disokong dana sebesar US$ 20 miliar atau setara Rp 266 triliun dari pria terkaya India, Mukesh Ambani. Hal tersebut membuat tiga operator besar India (Bharti, Vodafone dan Idea Cellular) terpaksa harus memangkas harga dan menerima laba yang lebih rendah, dan memicu gelombang konsolidasi di sektor ini.

Di Indonesia, perang tarif data internet setidaknya sudah berlangsung sejak 2017. Demi memperebutkan pelanggan data, operator rela membandrol tarif murah meriah. Rendahnya harga data tercermin dari riset Cable.Perusahaan Inggris itu menyebut rata-rata harga data 1GB di Indonesia USD 1,21 atau hanya sekitar Rp 17 ribu.

Baca Juga:Soal Perang Tarif Data Internet, BRTI: Ini Merupakan Strategi Operator Untuk Bersaing

Torehan tersebut membuat Indonesia menduduki posisi ketiga sebagai negara dengan paket data termurah di Asia Tenggara, setelah Myanmar dan Malaysia. Harga data yang murah memang cenderung menguntungkan konsumen, namun berimbas pada menurunnya pendapatan dan kesehatan operator.

Rendahnya tarif data membuat kinerja operator tertekan. Tengok saja, pada 2018 operator tumbuh negatif 6,4%. Pertumbuhan minus itu adalah kali pertama sejak teknologi selular masuk pertama kali di Indonesia pada 1983.

Terima kasih telah membaca artikel

Seperti Halnya India dan Indonesia, Operator Australia Juga Terlibat Perang Tarif