‘Seperti di Neraka’, Curahan Pelajar Internasional di Australia Saat Pandemi

Jakarta

Maret lalu, mahasiswa internasional bernama Raiyan Chowdhury merasa memiliki kendali atas hidupnya sendiri.

Ia tinggal di daerah Chadstone, sekitar 17,6km dari pusat kota Melbourne, dan sedang belajar untuk menjadi seorang koki sambil bekerja paruh waktu di sebuah pub.

Namun, pandemi virus corona telah membuat ia kehilangan pekerjaan dan tempat tinggalnya, sementara tabungannya terus menipis.

Tak lama setelahnya, ia menerima kabar bahwa semua anggota keluarganya di Bangladesh terpapar COVID-19.

“Rasanya seperti di neraka,” katanya ketika ditanya soal pengalaman tersebut.

Raiyan mengaku sempat merasa sangat depresi, hingga tidak berbicara dengan siapapun, selain kedua orangtuanya melalui telepon.

Pemikiran untuk pulang ke negaranya sempat terlintas, namun menurutnya terlalu rumit untuk dilakukan.

Karena dengan meninggalkan Australia, ia juga mengorbankan mimpinya untuk menjadi koki di Melbourne, dan kembali kepada orangtuanya yang mengalami kesulitan keuangan karena pandemi.

Perlahan-lahan, Raiyan menemukan cara untuk bertahan hidup di Melbourne.

Mahasiswa berumur 19 tahun tersebut mendapatkan uluran tangan dari sekolahnya, selain dari dukungan dana darurat sebesar AU$1,100, atau sekitar Rp11,8 juta dari Pemerintah Victoria.

Walau menerima bantuan, ia tetap bekerja sebagai supir ‘Uber Eats’ dengan sepeda sewaan dan menyewa sebuah tempat di sebuah rumah dengan beberapa orang lainnya di West Footscray.

Seolah belum cukup, musibah lain pun menimpanya.

Sepedanya sempat dicuri ketika tengah bekerja sehingga harus melunasi denda sebesar AU$600 (Rp6,4 juta).

Dilema mahasiswa internasional di Australia
Raiyan bukanlah satu-satunya mahasiswa internasional yang menghadapi situasi sulit.

Banyak mahasiswa yang juga kehilangan pekerjaan namun tidak dapat mengakses tunjangan uang ‘JobKeeper’ atau ‘JobSeeker’.

Beberapa bantuan dari pemerintah dan universitas tersedia dan mereka yang sudah bekerja selama 12 bulan dapat mengakses ‘superannuation’ atau tabungan masa tua bagi warga Australia mereka.

April lalu, Perdana Menteri Scott Morrison memperingatkan mahasiswa internasional dan pemegang visa turis untuk pulang ke negara masing-masing bila tidak lagi dapat membiayai kehidupan mereka sendiri.

Ini karena Pemerintah Australia ingin mendahulukan kebutuhan warganya sendiri.

Beberapa mahasiswa internasional sudah mengikuti anjuran tersebut dan menurut beberapa lembaga pendidikan, tidak sedikit yang juga berencana pulang ke negara masing-masing.

Mereka yang masih bertahan di Australia hanya mengandalkan dukungan dari keluarga mereka.

Namun, banyak mahasiswa internasional yang masih bimbang untuk memilih pulang atau bertahan di Australia.

Kehidupan di Australia telah menguras dompet, namun pilihan untuk pulang juga bukan solusi yang sederhana melihat sulitnya mendapatkan tiket penerbangan internasional.

Belum lagi bila melihat harganya dan risiko membawa virus ke negara asal, selain dari kekhawatiran kehilangan visa atau kesempatan meneruskan pendidikan mereka.

Pada akhirnya, mereka mengandalkan sumbangan untuk bertahan.

Dukungan gereja bagi ‘warga miskin Melbourne’

Setiap pagi, 50 atau 80 mahasiswa internasional mengantre di depan St Peter’s Eastern Hill, sebuah gereja kecil nan tua yang terletak di belakang Gedung Parlemen Victoria.

Di sana, mereka mendapatkan konsumsi gratis seperti roti, telur, dan kopi.

Sejak awal pandemi, lebih dari 40.000 makanan telah dibagikan.

Pendeta Hugh Kempster, yang disapa Father Hugh, pernah berbicara dengan mahasiswa internasional. Mereka mengaku hanya memiliki sisa makanan seperti kentang atau bawang di rumah, karenanya terpaksa mengakses bantuan dari gereja tersebut.

Salah satu cerita mengenaskan menurutnya adalah ketika seorang perempuan yang mengantre langsung menyantap makanan gratis yang diterimanya.

“Ia mengambil tas makanan yang sedang kami bagikan, pergi ke ujung, membuka tutup kemasan makanan, dan langsung makan dengan lahap seperti belum makan berhari-hari,” katanya.

Ia juga bercerita tentang mahasiswa lain yang sempat tinggal di garasi setelah terpapar COVID-19 karena tidak punya pilihan.

Father Hugh menyebut pengakses bantuan ini sebagai “warga miskin Melbourne”.

Mantan mahasiswa internasional membagikan makanan gratis

Pemilik restoran ‘Panda Hot Pot’ di pusat kota Melbourne membagikan 40 ‘hot pot’ gratis kepada mahasiswa internasional setiap Selasa di tengah ‘lockdown’.

“Kami menerima reaksi luar biasa,” kata Yi Li kepada ABC tentang bantuan yang ia berikan.

Dua jam sebelum waktu pembagian, antrean mahasiswa sudah terlihat.

Yi Li datang ke Australia sebagai seorang mahasiswa internasional dan berharap makanan hot pot yang ia bagikan memberikan pesan kepada mahasiswa internasional bahwa mereka masih dipedulikan.

“Makanan ini bukan hanya akan mengenyangkan perut mereka, namun juga menjadi tanda kehangatan, menciptakan perasaan tinggal rumah sendiri, kepuasan, dan perasaan diperhatikan,” tuturnya.

Ia berharap mahasiswa internasional dapat melalui ‘lockdown’ kedua untuk kemudian kembali ke kehidupan normal baru di kota ini.

Diproduksi oleh Natasya Salim dari artikel bahasa Inggris yang dapat dibaca di sini.

Ikuti perkembangan seputar pandemi COVID-19 Australia di ABC Indonesia.

(ita/ita)

Terima kasih telah membaca artikel

‘Seperti di Neraka’, Curahan Pelajar Internasional di Australia Saat Pandemi