Reforma Agraria Bank Dunia

Jakarta

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memaparkan keberhasilan pelaksanaan sepuluh tahun Reforma Agraria Pemerintahan Joko Widodo dalam Reforma Agraria Summit di Bali (15/6). Pada kesempatan itu Menteri AHY menyajikan 100 hari kerja kepemimpinannya, yang membanggakan capaian reforma agraria Presiden Joko Widodo melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang mengalami lompatan 250 persen sejak tujuh tahun terakhir. Hingga akhir Mei 2024 telah terdaftar 113,3 juta bidang tanah dan 91,7 bidang tanah di antaranya telah bersertifikat.

Sebelumnya, keberhasilan itu telah dibagikan juga oleh Menteri AHY pada Konferensi Tanah Bank Dunia 2024 di Washington DC, Senin (13/5). Bank Dunia sangat mengapresiasi pencapaian ini dan Indonesia diminta berbagi kunci sukses kepada para peserta. Bank Dunia menyatakan, sebanyak 2,5 miliar penduduk dunia, atau sekitar satu dari tiga orang, mengandalkan tanah, sumber daya alam, dan ekosistem sebagai mata pencaharian untuk hidup dan sejahtera.

Namun terjadi paradoks ketimpangan, sebab 70 persen penduduk dunia tidak memiliki jaminan hak atas tanah. Bank Dunia lalu mendukung Program Percepatan Reforma Agraria atau Program to Accelerate Agrarian Reform (One Map Project) senilai US$ 240 juta. Program ini menggunakan pemetaan partisipatif di tingkat desa dan pendaftaran hak atas tanah di 10 provinsi di Indonesia, yang bertujuan untuk mendaftarkan 7 juta bidang tanah pada akhir 2024.

Tak dinyana, pertengahan 2023 proyek ini telah berhasil memetakan lebih dari 6,6 juta bidang tanah. Capaian yang lebih cepat dari jadwal. Kiat sukses diklaim karena konsultasi masyarakat dan pemetaan partisipatif merupakan bagian integral dalam pendaftaran tanah. Belum lagi suntikan Dana Perwalian Multi-Donor untuk Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan atau Sustainable Landscape Management Multi-donor Trust Fund senilai US$ 37 juta. Proyek Satu Peta yang lebih dikenal sebagai Program Percepatan Reforma Agraria telah mengembangkan dan menyempurnakan metode.

Infiltrasi Policy

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Model Reforma Agraria dari Bank Dunia semakin menghegemoni tatkala disandingkan dengan hak akses bernama Perhutanan Sosial. Pada era Presiden Joko Widodo, program Reforma Agraria masuk sebagai agenda politik nasional dan dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Reforma Agraria ditargetkan mencapai 9 juta hektar, yang sebagian besar diperuntukkan bagi legalisasi dan sertifikasi tanah –bukan redistribusi tanah.

Reforma Agraria juga didukung program Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta hektar. Kedua program ini dilanjutkan masuk sebagai salah satu ‘kegiatan prioritas’ untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia pada RPJMN 2020-2024. Langkah pemerintahan Presiden Joko Widodo disambut Bank Dunia dan Dana Lingkungan Hidup Global (Global Environment Fund). Mereka mendukung Proyek Penguatan Perhutanan Sosial Pemerintah senilai US$ 14 juta. Sampai dengan akhir 2023, proyek ini telah membantu penerbitan berbagai izin Perhutanan Sosial dan Rencana Kerja Perhutanan Sosial (RKPS) dengan total wilayah 61.181 hektar.

Perhutanan sosial lebih berorientasi pada akses rakyat terhadap hutan, bukan untuk mewujudkan keadilan agraria. Sehingga tidak mengherankan apabila pelepasan kawasan hutan untuk Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) masih jauh dari target 4,1 juta hektar. Berdasarkan alur kebijakan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial ala Bank Dunia tersebut, tanah sebagai sumber agraria yang utama hanya dimaknai dominan sebagai fungsi ekonomi. Padahal Pasal 6 UUPA 1960 mengatur hak atas tanah yang memiliki fungsi sosial.


ADVERTISEMENT

Memang terdapat perbedaan mendasar orientasi reforma agraria dalam UUPA 1960 dengan model Reforma Agraria yang direkonstruksi Bank Dunia. Menurut Gunawan Wiradi dalam Reforma Agraria untuk Pemula, Reforma Agraria yang berlandaskan UUPA 1960 menekankan pada suatu penataan kembali (penataan ulang) susunan pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria (terutama tanah), untuk kepentingan rakyat kecil (petani, buruh tani, tunakisma) secara menyeluruh dan komprehensif.

Titik tekan “penataan ulang” itu sendiri kemudian dikenal dengan land reform. Selanjutnya yang dimaksud “menyeluruh dan komprehensif” berarti sasaran bukan hanya tanah pertanian, tetapi juga tanah-tanah kehutanan, perkebunan, pertambangan, pengairan, kelautan, dan lain-lainnya. Kemudian land reform itu harus disertai program-program penunjang seperti penyuluhan dan pendidikan tentang teknologi produksi, program permodalan, pemasaran, dan lain sebagainya. Jadi inti Reforma Agraria adalah land reform, plus program penunjang.

Sementara Reforma Agraria yang diokupasi Bank Dunia mengedepankan pada administrasi pertanahan melalui legalisasi atau sertifikasi tanah. Kemudian juga menyiapkan tanah bagi kepentingan investasi dan pembangunan. Tugas untuk menjalankannya saat ini dilakukan oleh Badan Bank Tanah. Patut dipahami bahwa muara dari Bank Tanah yakni memang menciptakan pasar tanah. Sehingga arus utama kebijakan bukan untuk mengurai ketimpangan dan menyelesaikan konflik agraria.

Hal ini dibuktikan dengan hasil SUTAS BPS 2018 yang menyebutkan 58% petani di Indonesia hanya menguasai tanah pertanian di bawah 0,5 hektar (gurem). Kondisi justru semakin mengkhawatirkan dalam Sensus Tani BPS 2023 Tahap I yang memuat data jumlah petani gurem mengalami kenaikan 18,54 persen dalam sepuluh tahun terakhir menjadi 16,89 juta. Fakta tersebut menunjukkan reforma agraria melalui legalisasi aset justru semakin mengukuhkan ketidakadilan agraria.

Menggalang Dukungan

Bank Dunia memahami bahwa Reforma Agraria versi mereka perlu mendapatkan dukungan dan legitimasi dari gerakan sosial. Bank Dunia sendiri merupakan salah satu anggota pendiri dari International Land Coalition (ILC). ILC telah menerima kontribusi keuangan sebesar US$ 1,5 juta dari fasilitas hibah pembangunan Bank Dunia pada 1998. ILC didirikan pada 1 Januari 1996 atas rekomendasi konferensi kelaparan dan kemiskinan yang diselenggarakan oleh International Fund for Agricultural Development (IFAD) pada 1995.

Pada mulanya, organisasi itu disebut koalisi rakyat untuk memberantas kelaparan dan kemiskinan. ILC sendiri secara resmi dibentuk dan diluncurkan bersama dengan nama barunya pada Februari 2003. Misi dari ILC yakni untuk menjadi aliansi global organisasi antar pemerintah, pemerintah, dan masyarakat sipil yang bekerja sama dengan masyarakat miskin perdesaan untuk meningkatkan keamanan akses terhadap sumber daya alam, terkhusus tanah.

ILC juga memungkinkan para anggota berpartisipasi secara langsung dalam perumusan kebijakan dan proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi penghidupan di tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional. Sejak awal berdiri hingga akhir 2007, ILC telah memobilisasi US$ 18,6 juta dalam bentuk sumbangan dan janji yang dapat diterima dari para donor. Adapun kontributor utama ILC antara lain IFAD, Komisi Eropa, Bank Dunia, Belanda, Italia, dan Belgia.

Sembilan Catatan

Tantangan dan peluang Reforma Agraria Menteri AHY sebetulnya ada pada kerja mencapai target Reforma Agraria 9 juta hektar melalui redistribusi tanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, penyelesaian konflik agraria, tanah-tanah aset negara seperti BUMN, dan HGU/HGB/Hak Pakai berakhir, serta tanah negara bebas lainnya.

Paling tidak terdapat 9 (sembilan) catatan untuk bisa menyadarkan kita dari hegemoni Reforma Agraria Bank Dunia. Pertama, kekeliruan Reforma Agraria yang digunakan sebagai label untuk kegiatan administrasi pertanahan seperti legalisasi atau sertifikasi tanah. Demikian juga menyandingkan perhutanan sosial dengan reforma agraria yang saling bertolak belakang. Kedua, reforma agraria tidak dipimpin langsung oleh Presiden melalui penguatan kebijakan reforma agraria. Sehingga ego sektoral dan sengkarut kementerian/lembaga selalu jadi kendala.

Ketiga, Tim Nasional Reforma Agraria (TNRA) dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) sebagai lembaga pelaksana reforma agraria didominasi oleh birokrasi, tidak melibatkan organisasi petani, dan para pihak sebagai subjek utama TORA. Keempat, birokrasi lambat bahkan cenderung kurang mendukung penyelesaian konflik agraria dan pelaksanaan reforma agraria. Sebab rotasi yang begitu cepat membuat ketidaksinambungan kerja di antara kementerian/lembaga.

Kelima, pemerintah tidak menganggarkan pembiayaan yang memadai untuk penyelesaian konflik agraria dan pelaksanaan reforma agraria yang bersumber dari APBN –bukan dari utang internasional yang menjebak. Keenam, terobosan hukum dalam penyelesaian konflik agraria dan pelaksanaan reforma agraria justru menghambat; peraturan yang ada belum bisa digunakan secara operasional. Perubahan Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria menjadi Perpres 62/2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria belum benar-benar cepat terimplementasi.

Ketujuh, tidak banyak mendapatkan dukungan dari militer dan aparat keamanan untuk pelaksanaan reforma agraria. Kedelapan, masih terjadi intimidasi, diskriminasi hukum, dan kriminalisasi kepada petani dan pejuang reforma agraria. Kesembilan, perampasan tanah petani atas nama pembangunan dan investasi semakin masif terjadi. Operasional terhadap ini kemudian dilegitimasi oleh Badan Bank Tanah yang merupakan anak kandung UU Cipta Kerja.

Berdasarkan poin di atas, dalam kurun waktu yang mendesak mesti ada kesadaran kembali untuk menjalankan Reforma Agraria UUPA 1960, bukan Reforma Agraria versi Bank Dunia. Pesan ini ditujukan untuk dibenahi Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang tersisa tiga purnama. Demikian juga menjadi catatan pemerintahan yang akan datang dalam kabinet Prabowo dan Gibran, putra dari Presiden Joko Widodo.

Angga Hermanda Sekretaris Pusat Kajian Agraria dan Kedaulatan Pangan Damar Leuit

(mmu/mmu)

Terima kasih telah membaca artikel

Reforma Agraria Bank Dunia