Refleksi Pandemi Covid-19 dan ‘New Normal’

Pada beberapa negara di belahan dunia terburu-buru untuk memulai kembali perekonomian, lebih awal dari yang diperkirakan. Namun, dengan melihat peningkatan tajam dalam penyebaran virus dan jumlah kematian, menandakan bahwa kondisi ini akan menjadi krisis yang bahkan lebih serius dari sebelumnya.
Pada bulan Februari dan Maret lalu, kita mengabaikan penyebaran penyakit yang berbahaya dan juga gagal memahami sifat eksponensial dari penularannya Disisi lain panggilan untuk kembali ke normalitas sudah semakin sulit untuk dilawan, dikombinasikan dengan ketidakmampuan orang untuk memahami pentingnya tindakan pencegahan, memicu terbentuknya titik episentrum baru.
Kegiatan di restoran, pertemuan keluarga atau kehidupan malam menjadi beberapa penyebabnya. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari normalitas manusia sebelumnya. Pada kegiatan tersebut sangat sulit atau bahkan hampir tidak mungkin untuk mempertahankan tindakan pencegahan yang diperlukan untuk menghindari infeksi. Satu hal yang menjadi masalah besar selanjutnya adalah masih banyak yang berpikir bahwa pandemi telah lewat. Kita tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi gelombang kedua karena kita masih di gelombang pertama.
Munculnya virus yang sangat menular ini yang sebelumnya tidak mempengaruhi manusia, sekarang justru sebliknya. Virus tersebut sekarang menjadi bagian dari lingkungan kita, ada di antara kita, dan akan tetap demikian untuk waktu yang lama. Mengabaikan nasihat para ilmuwan atau menyalahkan mereka karena ingin kembali hidup ‘normal’ menciptakan kondisi krisis yang lebih serius dan berkelanjutan. Tidak ada gunanya memulai kembali sektor ekonomi vital, jika setelah siklus inkubasi infeksi selesai yakni empat belas hari selesai, kita semua harus kembali ke tahap Lockdown karena beberapa orang yang tidak patuh aturan.
Lalu apa yang harus kita lakukan ketika dihadapkan dengan virus yang tidak sesuai dengan model ekonomi kita saat ini? Mengingat bahwa virus tidak akan mengubah kebiasaannya, dan kenyataan bahwa vaksin apa pun yang dapat dihasilkan tidak akan menjadi peluru ajaib karena virus terus bermutasi. Satu-satunya alternatif adalah mengubah model ekonomi dan cara hidup manusia. Ubah cara hidup kita, mulailah berpikir bahwa banyak hal yang kita lakukan sebelum bulan Maret tahun ini tidak dapat lagi dilakukan.
Apa gunanya mengikuti tes jika selama menunggu hasil tes, Anda pergi berbelanja, ke pesta, reuni keluarga dan minum-minum bersama teman? Apakah kita harus terus mengembangkan metodologi kita untuk mendapatkan tes diagnostik yang murah, langsung dan sederhana yang bisa kita lakukan secara teratur, dan mengejar hal yang tak pasti? padahal mengubah cara hidup merupakan kunci dari berakhirnya pandemi ini.
Perubahan yang dianggap tidak mungkin oleh banyak orang dan ekosistem baru yang menyiratkan desain ulang dari banyak kegiatan kita, harus kita lakukan. Kota-kota, restoran, ruang publik, perjalanan, penjara, rantai pasokan, perawatan kesehatan, perdagangan, pendidikan, pekerjaan, komunikasi semuanya terimbas. Perubahan besar yang jelas dan sebagian besar penduduk belum pernah membayangkannya pada masa sebelum pandemi.
Sebagian besar dari kita berpikir bahwa begitu Lockdown berakhir, kita akan kembali pada keadaan normal, meskipun mengenakan masker. Namun ternyata masker saja tidak cukup sebenarnya, harus ada sikap patuh aturan pada diri kita yang bisa menjaga jarak dan sering mencuci tangan.
Namun masalah masker saja sudah banyak hambatan, banyak orang merasa tidak nyaman dengan menggunakan masker, padahal beberapa kegiatan mereka tidak akan terganggu hanya karena menggunakan masker.
Tidak akan ada kembali normal seperti sedia kala. Pandemi mengharuskan kita untuk mendesain ulang ekonomi, memikirkan kembali obsesi kita terhadap pertumbuhan, menemukan cara untuk melindungi yang paling rentan, menggunakan aplikasi yang dapat kita percayai untuk melacak kontak kita, berbagi penelitian dan pembelajaran, dan mendesain ulang segala sesuatu untuk menempatkan orang, bukan berorientasi pada keuntungan tapi lebih ke keselamatan.
Satu-satunya alternatif yang kita miliki adalah mendesain ulang kehidupan kita berdasarkan realitas baru yang akan ada bersama kita selama bertahun-tahun. Sampai kita memahami itu, kita akan terus mengganti fase penahanan dengan fase ekspansi, sambil menunggu pemulihan yang kemungkinan besar akan menjadi fatamorgana, dan sementara itu, kita akan terus mati seperti kutu busuk. Entah kita mengubah mentalitas kita dan mendefinisikan kembali ekonomi yang kita kenal, atau kita terus memberikan peluang virus untuk berkembang biak.
Pandemi ini jauh melampaui banyak hal. Masker, hand sanitizer atau Lockdown sudah sangat menjadi familiar di telinga kita. Perubahan yang kita butuhkan tidak akan terjadi dalam semalam. Tetapi semakin cepat kita memahaminya, semakin cepat kita menyusun rencana untuk merancang dan mengimplementasikannya. Semakin cepat kita dapat mulai menanganinya, dan semakin cepat kita menyadari meskipun kita belum percaya. Dunia telah berubah, di depan mata kita, dalam beberapa bulan dan ketika dunia Anda berubah, jika Anda bersikeras untuk terus melakukan hal-hal seperti sebelumnya, itu tidak akan berakhir dengan baik.
Maka dari itu kita harus terbiasa dengan pandemi ini dan tidak menganggapnya remeh. Mungkin untuk sebagian orang pandemi ini hanya dianggap mitos. Namun jika kita melihat, ternyata ada pula orang diluar sana yang masih belum percaya dengan AIDS yang notabennya sudah ada di Bumi dan menginfeksi ribuan bahkan jutaan orang didunia. AIDS yang sudah ada dan ditemukan menginfeksi manusia pada tahun 1970an saja masih saja ada yang menganggapnya hoax, apalagi Covid-19 yang baru ‘lahir’ tahun lalu.
Terima kasih telah membaca artikel