Mengerem Kenaikan Harga Cabai

Jakarta

Akhir-akhir ini pemberitaan kenaikan harga cabai di Tanah Air cukup ramai di media nasional. Bukan merupakan suatu hal yang baru terjadinya kenaikan harga cabai di tanah air. Namun, mirisnya akibat terjadinya kenaikan tersebut menyebabkan pihak-pihak tertentu memalsukan cabai merah dengan memberikan cat merah pada cabai hijau. Pihak-pihak tersebut merasa tergiur karena harga cabai rawit hijau harganya lebih rendah dibandingkan harga cabai rawit merah. Hal tersebut pastinya merugikan dan membahayakan konsumen.

Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), harga cabai rawit merah mengalami peningkatan di berbagai wilayah, misalnya Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp 125.000 per kg, Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 95.250 per kg, Provinsi Jawa Barat sebesar Rp 120.950 per kg, dan Provinsi Kalimantan Timur sebesar Rp 100.000 per kg. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi pada Februari 2021 cabai rawit memberikan andil sebesar 0,02 persen, sementara inflasi yang terjadi pada waktu yang sama sebesar 0,10 persen.

Apabila dilihat dari potensinya, produksi cabai rawit di Indonesia sering mengalami peningkatan. Pada 2019, produksi cabai rawit di Indonesia sebesar 1,37 juta ton dengan rincian luas panen sebesar 177.581 ha serta produktivitas sebesar 7,8 ton per ha.

Kenaikan harga cabai pastinya tidak terlepas dari berbagai faktor. Kondisi cuaca yang tidak baik seperti tingginya curah hujan menyebabkan terjadinya gagal panen. Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa telah terjadi banjir di negeri ini di beberapa wilayah sehingga berdampak terhadap hasil panen cabai. Selain itu, akibat curah hujan yang tinggi tanaman cabai terserang penyakit sehingga mempengaruhi produksi.

Namun pada beberapa waktu sebelumnya petani enggan menanam cabai akibat kerugian besar yang dialami petani tersebut. Hal ini dikarenakan pada kala itu ketika panen raya, produksi cabai melimpah namun harga anjlok. Akibatnya, tidak terjadi keseimbangan antara supply dan demand. Oleh karena itu, diperlukan beberapa langkah agar harga cabai kembali stabil.

Memotong Rantai Distribusi

Menurut BPS, cabai merah merupakan komoditas yang memiliki mata rantai distribusi yang panjang. Misalnya dari petani ke pengepul kecil, kemudian ke pengepul besar, lalu ke pedagang besar, kemudian ke pasar tradisional atau pengecer kemudian baru dapat dinikmati oleh konsumen. Pada mata rantai tersebut, biasanya masing-masing pihak akan memperoleh keuntungan sehingga harga cabai terus dinaikkan. Lebih parahnya lagi apabila terdapat pihak “nakal” yang mempermainkan harga cabai.

Berbeda halnya dengan komoditas bawang merah yang memiliki rantai distribusi yang pendek karena melibatkan sedikit pihak yakni seperti dari agen langsung ke pengecer. Akibat mata rantai distribusi yang panjang pada cabai merah sehingga harga dari produsen hingga konsumen akhir sangat berbeda. Akibatnya, belum tentu harga cabai merah yang tinggi di pasaran dapat menguntungkan dan menyejahterakan petani. Oleh karena itu, diperlukan pemangkasan mata rantai distribusi cabai sehingga masyarakat dapat memperoleh cabai dengan harga yang terjangkau.

Peran e-commerce dianggap mampu dalam memotong mata rantai distribusi cabai. Adanya peran teknologi memudahkan penjual untuk bertemu dengan pembeli dan hanya memerlukan waktu yang singkat. Namun, cabai merupakan komoditas pertanian yang tidak tahan lama sehingga apabila proses pengiriman terlalu lama dikhawatirkan akan diterima oleh konsumen dalam keadaan membusuk. Oleh karena itu, diperlukan peran pihak-pihak tertentu sehingga cabai pascapanen memiliki ruang simpan yang baik dan bekerja sama dengan pihak pengiriman agar cabai tetap dalam kondisi segar ketika sampai di konsumen.

Diharapkan pula sistem resi gudang dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) dapat dimanfaatkan dengan baik sehingga produksi komoditas hortikultura yang berlebih ketika panen raya dapat disimpan.

Memperhatikan Data

Data adalah suatu hal yang penting dalam mengambil suatu langkah atau kebijakan. Begitu pula dalam mengatasi kasus melonjaknya harga cabai di Tanah Air. Harga cabai di provinsi satu dengan provinsi lainnya berbeda. Begitu pula kondisi lahan yang terdapat di masing-masing provinsi. Oleh karena itu, diperlukan data serta pihak yang mampu menganalisisnya sehingga pihak-pihak tertentu dengan melibatkan peran pemerintah daerah sehingga dapat fokus apa yang terjadi sebenarnya di lapangan.

Kenaikan harga cabai pastinya tidak hanya berimbas ke ruang lingkup rumah tangga. Industri-industri makanan dan rumah makan juga harus mengurangi ketersediaan cabai atau menaikkan harga makanan yang dijual ketika harga cabai melambung tinggi. Lagi-lagi yang paling terkena imbasnya adalah masyarakat miskin. Berdasarkan data BPS pada September 2020 persentase penduduk miskin di Indonesia meningkat kembali menjadi dua digit yaitu sebesar 10,19 persen.

Selain itu, kebiasaan masyarakat Indonesia saat ini adalah lebih menyukai memakan cabai mentah dibandingkan cabai olahan seperti dalam bentuk bubuk. Hal ini dikarenakan cabai mentah lebih nikmat dibandingkan produk olahan cabai. Namun sebenarnya cabai olahan memiliki harga yang lebih stabil dibandingkan cabai mentah. Oleh karena itu, diperlukan waktu sehingga masyarakat juga dapat menyukai produk olahan cabai. Harapannya dari beberapa langkah yang telah dilakukan, harga cabai dapat kembali stabil sehingga hadiah rutin kenaikan harga cabai tidak selalu terjadi di setiap tahunnya.

Dyah Makutaning Dewi, S.Tr.Stat alumni Politeknik Statistika STIS Jakarta, magang di Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah

(mmu/mmu)

Terima kasih telah membaca artikel

Mengerem Kenaikan Harga Cabai