Membedah Tuntutan Mati Jaksa ke Heru Hidayat di Skandal ASABRI

Jakarta

Heru Hidayat dituntut mati oleh jaksa karena diyakini melakukan korupsi dalam skandal ASABRI. Jaksa menuntut mati Heru Hidayat karena dianggap melakukan pengulangan perbuatan korupsi.

Seperti diketahui Heru Hidayat merupakan Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera. Sebelum perkara ASABRI, Heru Hidayat telah lebih dulu dijerat dalam perkara korupsi di Jiwasraya yang di mana Heru Hidayat divonis penjara seumur hidup dan vonis itu telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah.

Kejaksaan Agung (Kejagung) yang mengusut perbuatan Heru Hidayat lantas menjeratnya dalam perkara ASABRI. Jaksa meyakini Heru Hidayat melakukan korupsi bersama-sama dengan mantan Direktur Utama ASABRI Adam Damiri dan Sonny Widjaja dkk hingga merugikan negara sebesar Rp 22,7 triliun.

“Terdakwa Heru Hidayat menerima sekitar Rp 12.643.400.946.200 (triliun), Sonny Widjaja menerima Rp 64,5 miliar, Ilham Wardhana Bilang Siregar telah menerima akibat pengelolaan investasi ASABRI Rp 241.688.185.267, Adam Rahmat Damiri Rp 17,972 miliar, berdasarkan uraian fakta hukum di atas maka unsur memperkaya diri telah terpenuhi secara sah menurut hukum,” kata jaksa.

“Berdasarkan uraian di atas, unsur merugikan negara atau perekonomian telah terbukti menurut hukum,” imbuh jaksa.

Jaksa juga meyakini Heru Hidayat terbukti melakukan pencucian uang (TPPU). Jaksa mengatakan Heru mendapat keuntungan tidak sah dari pengelolaan saham PT ASABRI sekitar Rp 12 triliun, keuntungan itu kemudian disamarkan oleh Heru dengan membeli aset.

“Bahwa terdakwa Heru Hidayat adalah pihak yang mengatur investasi saham reksadana, terdakwa dan afiliasinya Joko Hartoni dan Piter Rasiman dan Maudy Mangke, bahwa terdakwa Heru Hidayat bertujuan menyamarkan asal usul kekayaan pada investasi PT ASABRI dengan cara menempatkan rekening sendiri atau pihak lain melalui nominee-nominee, dan sejumlah rekening bank perusahaan beserta anak perusahaan dan lainnya,” kata jaksa.

“Bahwa perbuatan terdakwa bersama Adam Damiri, Sonny Widjaja telah menimbulkan kerugian negara Rp 22,7 triliun. Terdakwa memperoleh keuntungan tidak sah sejumlah Rp 12.643.400.946.200 (triliun), bahwa untuk menyamarkan asal-usul kekayaan terdakwa membelanjakan sejumlah aset,” lanjut jaksa.

Atas perbuatan Heru Hidayat itu, jaksa menuntutnya dengan pidana mati. Tuntutan itu dibacakan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin, 6 Desember 2021.

“Menuntut agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini dapat memutuskan menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang,” ujar jaksa.

“Menghukum Heru Hidayat dengan pidana mati,” tambah jaksa.

Aturan Hukuman Mati untuk Koruptor

Persoalannya adalah Heru Hidayat sebelumnya dijerat jaksa dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor). Pasal itu berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2 ayat 1

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000.

Seperti bisa dilihat, ancaman hukuman maksimal pada pasal itu adalah seumur hidup. Namun jaksa menilai perbuatan Heru Hidayat adalah pengulangan sehingga jaksa mendasarkan argumentasinya pada Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor.

Berikut isinya:

Pasal 2 ayat 2

Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Penjelasan Pasal 2 ayat 2

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Terima kasih telah membaca artikel

Membedah Tuntutan Mati Jaksa ke Heru Hidayat di Skandal ASABRI