Kajian Potensi Tsunami 20 Meter Bukan untuk Picu Kepanikan

Jakarta

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) angkat bicara terkait kajian tim riset ITB yang mengungkap potensi bencana tsunami setinggi 20 meter akibat gempa megathrust di pantai selatan. BMKG menegaskan kajian itu dibuat bukan untuk menimbulkan kecemasan, tapi agar semua pihak waspada dan sebagai upaya penguatan sistem mitigasi bencana.

“Sebagai negara berpotensi rawan bahaya gempa bumi dan tsunami, penelitian/kajian gempa bumi dan tsunami di Indonesia perlu selalu didorong dengan tujuan bukan untuk menimbulkan kecemasan dan kepanikan masyarakat, namun untuk mendukung penguatan sistem mitigasi bencana,” ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangan tertulis, Selasa (29/9/2020).

“Sehingga kita dapat mengurangi atau mencegah dampak dari bencana itu, baik jatuhnya korban jiwa maupun kerusakan bangunan dan lingkungan,” lanjutnya.

Dwikorita mengatakan, sebelumnya peneliti telah melakukan kajian potensi tsunami besar di Pantai Selatan hingga 20 meter akibat gempa bumi megahtrust sejak beberapa tahun lalu. Metode pendekatan, dan asumsi yang dilakukan dalam tiap penelitian tersebut berbeda, tapi hasilnya kurang-lebih sama.

“Yaitu potensi terjadinya tsunami dengan ketinggian sekitar 20 meter, dalam waktu 20 menit gelombang tiba di pantai sejak terjadinya gempa. Penelitian tersebut antara lain dilakukan oleh Widjo Kongko (2018), Ron Harris (2017 – 2019), dan yang terakhir oleh tim lintas lembaga yang dipimpin oleh ITB dan didukung oleh BMKG,” sebut Dwikorita.

Adapun hasil penelitian tersebut diperlukan untuk menguatkan sistem mitigasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami. Hal tersebut, menurut Dwikorita, mengingat potensi kejadian gempa bumi dan tsunami di Indonesia tidak hanya berada di pantai selatan Jawa saja, tapi juga berpotensi terjadi di sepanjang pantai yang menghadap Samudra Hindia dan Samudra Pasifik ataupun pantai yang berdekatan dengan patahan aktif yang berada di laut, yang maknanya busur belakang atau back arc thrusting, ataupun membentang sampai ke laut, dengan berbagai potensi ketinggian gelombang tsunami.

“Penelitian terakhir oleh ITB yang didukung oleh BMKG, KKP, dan BIG dilakukan berdasarkan analisis data-data kegempaan BMKG dan pemodelan tsunami dengan beberapa skenario. Skenario terburuk mengasumsikan jika terjadi gempa bumi secara bersamaan di 2 segmen megathrust yang ada di selatan Jawa bagian Barat dan Selatan Jawa bagian Timur, yang mengakibatkan tsunami dengan tinggi gelombang maksimum 20 meter di salah satu area di selatan Banten, dan mencapai pantai dalam waktu 20 menit sejak terjadinya gempa,” paparnya.

“Mekanisme kejadian tsunami yang dimodelkan ini serupa dengan kejadian tsunami Banda Aceh tahun 2004, yang juga diakibatkan oleh gempa bumi dengan Mw 9,1 dan tsunami mencapai pantai dalam waktu kurang lebih 20 menit. Hasil pemodelan ini dapat juga menjadi salah satu acuan bahwa lahan di pantai yang berada pada ketinggian lebih dari 20 meter, relatif lebih aman terhadap ancaman bahaya tsunami,” imbuh Dwikorita.

BMKG menilai hasil pemodelan tersebut juga penting untuk penyiapan jalur dan tempat evakuasi ataupun untuk penataan lahan di daerah rawan tsunami. Menurut Dwikorita, sejak 2008 Pemerintah Indonesia telah mengantisipasi potensi kejadian tsunami akibat gempa bumi megathrust seperti yang pernah terjadi di Aceh tahun 2004, dan juga seperti yang telah dimodelkan oleh beberapa peneliti yang telah disebutkan sebelumnya.

“Jadi Sistem Peringatan Dini yang dibangun di BMKG memang disiapkan untuk memonitor dan mengantisipasi kejadian gempa bumi (termasuk gempa bumi megathrust) dengan magnitudo dapat mencapai lebih dari Mw 9, dan memberikan peringatan dini potensi datangnya gelombang tsunami. Dalam waktu 3 sampai dengan 5 menit setelah kejadian gempa bumi,” terangnya.

Dwikorita mengatakan sistem monitoring dan Peringatan Dini tersebut yang dioperasikan dengan Internet of Things (IoT) diperkuat oleh super computer dan Artificial Intelligent (AI). Dengan sistem ini, secara otomatis dapat menyebarluaskan informasi peringatan dini tsunami ke masyarakat di daerah rawan gempa bumi dan tsunami melalui BNPB, BPBD, media massa, ataupun beberapa moda diseminasi baik SMS, e-mail, website, dan media sosial.

“Dengan penyebarluasan peringatan dini tsunami tersebut maka masih tersisa waktu kurang-lebih 15 sampai dengan 17 menit untuk proses evakuasi, apabila waktu datangnya tsunami diperkirakan dalam waktu 20 menit,” ujar Dwikorita.

Dwikorita menyatakan hasil penelitian yang ditindaklanjuti dengan peringatan dini belum dapat sepenuhnya menjamin keberhasilan upaya pencegahan terjadinya korban jiwa dan kerusakan akibat tsunami, tanpa kesiapan masyarakat, Pemerintah Daerah dan seluruh pihak terkait. Oleh karena itu, diperlukan kesungguhan dari pemda bekerja sama dengan pemerintah pusat untuk melakukan berbagai langkah kesiapan pencegahan bencana.

“Langkah tersebut harus didasarkan pada edukasi masyarakat agar mampu melakukan perlindungan dan penyelamatan diri terhadap bencana gempa bumi dan tsunami, juga merespons Peringatan Dini secara cepat dan tepat. Peran Media sangat penting dan efektif dalam mensosialisasikan dan mengedukasi masyarakat secara tepat, untuk meningkatkan kewaspadaan tanpa menimbulkan kepanikan,” tegas Dwikorita.

Dia menilai, kesiapan Pemda juga sangat penting dalam menyediakan sarana dan prasarana evakuasi, peta rawan bahaya gempa bumi dan tsunami, jalur dan tempat evakuasi. Kemudian juga, kata Dwikorita, melaksanakan gladi evakuasi secara rutin, menerapkan Building Code standar bangunan tahan gempa bumi dan tsunami, terutama untuk bangunan publik dan bangunan vital.

“Melaksanakan audit bangunan yang diikuti dengan upaya memperkuat konstruksi bangunan agar benar-benar tahan terhadap gempa bumi dan tsunami, serta dalam menerapkan tata ruang berbasis mitigasi bencana dan menegakkan aturan secara ketat agar masyarakat dan seluruh pihak benar-benar mematuhi seluruh langkah upaya mitigasi ini,” tambah dia.

Terima kasih telah membaca artikel

Kajian Potensi Tsunami 20 Meter Bukan untuk Picu Kepanikan