Financial Times: Valuasi GoJek dan Grab Turun Drastis

Jakarta, – Dua decacorn yang saling bersaing, Grab dan GoJek tak kuasa menahan pencapaian yang sudah diraih dari gempuran covid-19. Kebijakan pembatasan terhadap layanan transportasi berbasis aplikasi demi menekan penyebaran virus, membuat kedua perusahaan ride hailing itu kehilangan banyak pendapatan.

Data dari Statqo Analytics menunjukkan, jumlah pemesanan layanan ojek/taksi online Grab turun hingga 24 persen per 26 Maret silam. Sementara Gojek turun 11 persen.

Akibat penurunan kinerja itu, nilai kedua perusahaan anjlok drastis. Berdasarkan laporan Financial Times (FT), Minggu (13/9/2020), nilai Gojek dan Grab mengalami penurunan tajam di pasar sekunder.

Saham keduanya diperdagangkan secara informal. Saham Grab yang berbasis di Singapura, yang bernilai US$14 miliar atau setara dengan Rp207,83 triliun, pada putaran pendanaan terakhirnya pada 2019, telah diperdagangkan dengan diskon 25 persen.

Sementara itu, saham Gojek yang bermarkas di Jakarta, senilai hampir US$10 miliar (Rp148,45 triliun) tahun lalu, juga telah dijual dengan diskon besar, seiring dengan rencana pemegang saham awal yang ingin keluar.

Melemahnya kinerja berpeluang memunculkan aksi korporasi, yakni merger di antara keduanya. FT mengungkapkan, bahwa pembicaraan untuk penggabungan usaha atau merger merupakan arahan dari pemegang saham, termasuk SoftBank. Langkah korporasi ini dibahas usai pendiri grup usaha asal Jepang Masayoshi Son memberikan restu atas rencana itu.

Sebelumnya, pembicaraan merger Grab dan Gojek pada enam bulan lalu mendapat tentangan dari Softbank, salah satu pemegang saham terbesar Grab. Masayoshi Son percaya waktu itu bisnis ride-hailing akan menjadi industri monopoli di mana mereka yang paling banyak uang akan menguasai pasar, ujar orang yang dekat dengan miliuner Jepang tersebut.

Namun, kondisi tersebut seperti berubah. Pandemi Covid-19 telah menghantam bisnis jasa transportasi berbasis aplikasi atau ride hailing. Sejumlah negara termasuk Indonesia melakukan pembatasan terhadap layanan transportasi berbasis aplikasi seperti pembatasan jumlah penumpang atau bahkan larangan mengangkut penumpang selama pandemi.

Tak dapat dipungkiri, kebijakan pembatasan berskala luas untuk mencegah meluasnya pandemi corona telah menghancurkan industri ride-hailing yang tengah naik daun. Hal itu memaksa perusahaan memotong jumlah pekerja secara global.

GoJek telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada 430 karyawan, atau 9 persen dari total karyawan.Perusahaan yang didirikan oleh Mendikbud Nadiem Makarim itu juga menghentikan sejumah layanan.

Diketahui, pada akhir 2019, Gojek memiliki sekitar 4.000 karyawan. Selain Indonesia, perusahaan telah memperluas bisnis ketiga negara lain di Asia Tenggara, masing-masing Vietnam, Singapura, dan Thailand.

Sebelumya Grab, kompetitor terdekat Gojek,  juga telah mengumumkan terpaksa harus memberhentikan 360 karyawan, termasuk di Indonesia. Hal ini dilakukan demi menyelamatkan perusahaan dari tekanan akibat wabah Covid-19.

Selain Grab dan GoJek, perusahaan ride-hailing lainnya, Uber juga telah memangkas lebih dari 3.000 karyawan. Dalam emailnya kepada karyawan pada Senin (18/5/2020), CEO Dara Khosrowshahi mengatakan Uber juga akan menutup atau mengkonsolidasikan 45 kantor di seluruh dunia dan sedang mempertimbangkan pemotongan untuk bisnis lain, seperti pengiriman.

Dibandingkan Grab dan GoJek, Uber sudah sudah melakukan PHK dua kali. Sebelumnya pada 6 Mei 2020, perusahaan yang berbasis di San Fransisce itu, telah memangkas 3.700 karyawan, yang merupakan 14 persen dari tenaga kerja Uber saat itu. Pasca PHK putaran kedua, Uber hanya menyisakan sekitar 20.000 karyawan.

Terima kasih telah membaca artikel

Financial Times: Valuasi GoJek dan Grab Turun Drastis