Apa yang Terjadi pada Gerakan Protes Menentang Monarki di Thailand?

Bangkok

Pihak berwenang terus berupaya untuk mengawasi para aktivis yang memimpin protes di Thailand secara ketat. Para pemrotes menyerukan reformasi terhadap hukum lese-majeste Thailand, yang melarang penghinaan terhadap monarki.

Pada Agustus 2020 lalu, gerakan protes yang diinisiasi kaum muda mulai menyebar di Thailand. Saat itu, mereka menyerukan reformasi konstitusional untuk mengendalikan kekuasaan monarki.

Tuntutan mereka menginspirasi ratusan ribu orang di seluruh Thailand, namun, lebih dari dua tahun kemudian, skala dan intensitas protes berkurang.


Pengacara hak asasi manusia Arnon Nampa adalah salah satu yang membantu menginspirasi gerakan tersebut pada tahun 2020. Lewat aksi itu, dia mendobrak batasan tabu yang ada sejak lama, dan secara terbuka menuntut reformasi monarki.

Apa itu hukum lese-majeste?

Kelompok yang digerakkan mahasiswa turut menindaklanjuti dengan mengeluarkan manifesto 10 poin yang bertujuan mengekang kekuasaan istana yang luas, termasuk pemotongan anggaran kerajaan dan pencabutan undang-undang lese-majeste.

Thailand memiliki beberapa hukum lese-majeste yang paling ketat di dunia. Berdasarkan Pasal 112 konstitusi Thailand, memfitnah atau mengkritik keluarga kerajaan Thailand dapat menimbulkan konsekuensi hukum yang serius.

Arnon, yang menghadapi setidaknya 14 dakwaan lese-majeste, mengatakan kepada DW bahwa gerakan untuk mereformasi monarki melemah.

“Anda tidak dapat mengharapkan protes terjadi setiap hari, setiap bulan, yang jumlahnya puluhan ribu atau ratusan ribu orang,” kata Arnon. “Protes hanyalah salah satu bagian dari gerakan,” tambahnya.

Arnon mengatakan bahwa pendukung reformasi monarki yang aktif di media sosial juga menjadi lebih berhati-hati, karena tuduhan pencemaran nama baik kerajaan sekarang juga mencakup pernyataan yang dibuat secara online.

Jaminan bersyarat penentang lese-majeste

Setidaknya 218 orang, termasuk 17 anak di bawah umur, telah didakwa dengan pencemaran nama baik kerajaan di Thailand sejak November 2020, menurut Thai Lawyers for Human Rights (TLHR).

Lebih dari separuh kasus tersebut terkait dengan ekspresi politik secara online, sementara sekitar 45% berasal dari pengaduan yang diajukan oleh warga sipil, karena undang-undang tersebut juga mengizinkan individu untuk mengajukan tuntutan lese-majeste terhadap orang lain, demikian menurut TLHR.

Organisasi HAM itu juga mendokumentasikan sedikitnya 1865 orang dituntut karena “partisipasi dan ekspresi politik” mereka antara tahun 2020 dan 2022.

“Banyak teman kami yang masih ditahan,” kata aktivis prodemokrasi Patsaravalee Tanakitvibulpon kepada DW. “Beberapa telah ditahan selama lebih dari 200 hari.”

Saat ini, setidaknya ada 11 tahanan politik, termasuk tiga di antaranya terkait kasus lese-majeste. Patsaravalee mengatakan pengadilan telah berulang kali menolak permintaan jaminan, dan kampanye untuk membebaskan aktivis tidak lagi menarik perhatian publik. Dia mengatakan pemerintah telah membuat orang “mati rasa dan menjadi terbiasa” dengan para pengunjuk rasa yang ditahan.

Bebas namun dipantau lewat gelang elektronik

Bagi mereka yang telah berhasil dibebaskan dengan jaminan, kebebasan bersyarat mereka seringkali disertai dengan ikatan yang kuat dan kondisi yang tidak jelas, yang akhirnya membatasi kebebasan mereka untuk berekspresi dan bergerak.

“Jaminan bersyarat seperti menjauhkan diri dari kegiatan apa pun yang dapat menyebabkan kerusuhan atau berpotensi merusak monarki adalah hal yang sangat luas,” kata Chonticha Jangrew, seorang aktivis terkemuka sejak kudeta militer 2014, kepada DW.

Dia mengatakan kondisi ini memaksa orang untuk menyensor diri sendiri, karena “bahkan menyuarakan pendapat dengan itikad baik dapat berisiko membuat jaminan kami dicabut.”

Arnon dibebaskan pada Februari 2020 setelah ditahan selama lebih dari 200 hari. Dia mengatakan bahwa dia dilarang lewat surat perintah pengadilan untuk mendorong orang lain melakukan protes dan tidak diperbolehkan untuk membagikan postingan di media sosial tentang demonstrasi.

Arnon dan banyak aktivis lainnya juga dipaksa untuk memakai gelang pemantau elektronik sebagai bagian dari jaminan mereka, persyaratan yang sangat mengganggu kehidupan sehari-hari mereka.

Aktivis Chonticha mengatakan syarat jaminan telah menumpulkan gerakan protes. “Kami tidak tahu kapan kondisi ini akan digunakan sebagai alat untuk mencabut jaminan kami, yang memaksa kami untuk lebih berhati-hati [baik dalam ucapan dan tindakan kami],” kata pria berusia 27 tahun itu.

Melarikan diri ke luar negeri

Mengingat sifat dari hukum lese-majeste yang keras, penggunaannya yang sewenang-wenang dan persyaratan jaminan yang membatasi, beberapa aktivis yang menghadapi dakwaan memilih untuk meninggalkan Thailand dan mencari suaka di luar negeri.

Kanyamon Sunanrat, yang mulai aktif sejak tahun lalu, tidak pernah berpikir suatu hari dia harus meninggalkan rumahnya karena mengekspresikan pandangan politik. Dia menghadapi setidaknya delapan dakwaan, dua di antaranya terkait dengan pencemaran nama baik kerajaan.

Sebagai prasyarat jaminan pelepasannya, ia diharuskan untuk tidak mengulangi pelanggaran yang sama atau melakukan apa pun yang dianggap menyinggung monarki.

“Pada dasarnya itu memberitahu kami untuk mengakhiri aktivisme kami,” katanya.

“Saya mencoba melanjutkan, tetapi polisi meminta pengadilan untuk mencabut jaminan saya. Saya sudah bertahan dua kali, tapi entah kapan keberuntungan saya akan habis,” kata Kanyamon, yang berjanji akan melanjutkan aktivismenya dari Prancis.

“Pindah ke luar negeri, bukan berarti menyerah,” tambahnya.

Bagi Patsaravalee, tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk mencari suaka, meskipun ia telah didakwa dengan 13 dakwaan.

“Saya tidak memikirkannya. … Saya ingin membuktikan kebenaran, agar orang melihat betapa merusaknya Pasal 112 bagi masyarakat kami,” katanya.

Pada pemilihan berikutnya di bulan Mei, Chonticha telah memutuskan untuk mencalonkan diri untuk menduduki kursi parlemen dengan menunggangi partai progresif: Move Forward Party.

“Protes di jalanan saja tidak cukup,” katanya.

Sebagai bagian dari janji politik, partainya baru-baru ini meluncurkan dorongan baru untuk mengurangi hukuman berat dan mencegah penggunaan hukum lese-majeste untuk tujuan politik. Saat ini, hanya partai ini satu-satunya yang menuntut perubahan tersebut.

Usulan partai untuk mengamandemen Pasal 112, terhenti selangkah di belakang tuntutan gerakan reformis yang ingin mencabut undang-undang tersebut. Namun, Chonticha mengatakan mengubah undang-undang itu adalah “langkah pertama” untuk mengurangi jumlah orang yang didakwa dan mengakhiri penerapannya yang sewenang-wenang.

Selama dua tahun setelah dia menginisiasi gerakan reformasi, Arnon mengatakan dia mengharapkan lebih banyak politisi di masa depan yang berani mempertanyakan monarki Thailand.

“Mendiskusikan monarki telah menjadi populer,” kata pria berusia 38 tahun itu. “Kita mungkin tidak melihat perubahan radikal seperti revolusi… tapi satu hal yang pasti: masyarakat Thailand tidak akan mundur.”

(ts/hp)Apa yang Terjadi pada Gerakan Protes Menentang Monarki di Thailand?

(nvc/nvc)

Terima kasih telah membaca artikel

Apa yang Terjadi pada Gerakan Protes Menentang Monarki di Thailand?