
Saya Diceraikan Istri, Apakah Hak Asuh Anak Wajib Jatuh ke Mantan?

Jakarta –
Perceraian mempunyai akibat hukum, salah satunya soal hak pengasuhan anak. Meski sudah diatur secara rigid di UU, tapi dalam praktik masih banyak ditemui masalah.
Berikut pertanyaan masyarakat terkait isu tersebut:
Saya adalah seorang ayah yang diceraikan istri saya. Sebelum bercerai saya memberi syarat kepada mantan istri saya agar hak asuh anak sama saya. Dan dia pun setuju. Tapi saat membuat Kartu Keluarga baru, nama anak sudah ada di Kartu Keluarga mantan istri saya.
Bisakah mengubah hak asuh anak agar ikut ke Kartu Keluarga saya walaupun anak saya masih di bawah umur? Hal itu sesuai perjanjian dengan mantan istri saya agar hak asuh anak ada pada saya.
Danita
Pembaca detik’s Advocate juga bisa menanyakan pertanyaan serupa dan dikirim ke email: [email protected] dan di-cc ke [email protected]. Pembaca juga bisa melakukan konsultasi online ke BPHN di https://lsc.bphn.go.id/konsultasi.
Nah untuk menjawab pertanyaan di atas, kami meminta jawaban dari Penyuluh Hukum Ahli Madya Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham, Ivo Hetty Nainggolan, S.H., M.H. Berikut jawabannya:
Terima kasih atas pertanyaan yang diberikan kepada kami. Terkait dengan permasalahan/pertanyaan yang Saudara tanyakan kepada kami, maka saya akan memberikan pandangan hukum atas permasalahan yang anda hadapi dari sisi hukum maupun peraturan lain yang terkait berdasarkan informasi dan kronologis kejadian peristiwa yang telah kami terima dari Saudara.
Pasal 1 UU Perkawinan telah menegaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi, hal ini tidak menutup kemungkinan terjadinya perceraian. Adapun berdasarkan Pasal 38 UU Perkawinan, putusnya suatu perkawinan dapat disebabkan oleh kematian, perceraian dan putusan pengadilan. Selain itu, perceraian dapat menimbulkan berbagai masalah hukum, termasuk di dalamnya mengenai pengurusan hak asuh atas anak.
Putusnya suatu perkawinan akibat perceraian tidak berarti kedua orang tua terlepas dari kewajiban untuk mengurus anak mereka. Hal tersebut diatur dalam Pasal 41 huruf a UU Perkawinan yang berbunyi:
“Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.”
Selain itu, Pasal 45 UU Perkawinan juga mengatur bahwa:
“(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.”
Dari kedua Pasal tersebut, dapat terlihat bahwa setelah bercerai, kedua orang tua dari seorang anak tetap berkewajiban untuk mengasuh anak mereka. Kewajiban ini kemudian ditetapkan oleh pengadilan yang disebut sebagai hak asuh anak.
Selanjutnya apabila pasangan dalam perkawinan beragama Islam, berdasarkan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, jika terjadi suatu perceraian, maka anak yang belum berusia 12 (dua belas) tahun atau belum mumayyiz akan dipelihara oleh ibunya. Di sisi lainnya, jika sudah mumayyiz, maka perihal pemeliharaan anak akan diserahkan kepada sang anak untuk menentukan sendiri antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak asuhnya.
Adapun tahapan untuk mendapatkan hak asuh anak dimulai dengan mengajukan permohonan baik ke Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri. Syarat-syarat umum untuk dilakukannya proses penetapan hak asuh anak adalah sebagai berikut:
1. anak harus memiliki akte kelahiran dari orang tua asli;
2. pemohon harus sudah pernah mengasuh anak minimal 6 (enam) bulan;
3. Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) orang tua asli;
4. rekomendasi dari Dinas Sosial;
5. Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) bagi pemohon (suami dan istri); dan
6. Surat keterangan sehat dari dokter untuk suami dan istri.
Selain itu, terdapat beberapa dokumen yang harus diserahkan dalam prosedur hak asuh anak baik di pengadilan negeri maupun pengadilan agama, yaitu:
1. surat permohonan ke pengadilan;
2. fotokopi surat nikah atau akte cerai pemohon bermeterai Rp10.000,00;
3. fotokopi KTP satu lembar A4 tanpa pemotongan;
4. fotokopi akte kelahiran anak yang akan diasuh atau surat keterangan dokter sebanyak 1 (satu) lembar bermeterai Rp10.000,00; dan
5. surat keterangan gaji/penghasilan (bagi anggota Pegawai Sipil Negara, Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia).
Berdasarkan uraian di atas, dapat terlihat bahwa untuk memperoleh hak asuh anak, terdapat syarat-syarat dan prosedur yang terlebih dahulu harus dipenuhi. Akan tetapi, apakah hak asuh anak harus berdasarkan penetapan pengadilan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu merujuk kembali pada pengertian penetapan itu sendiri. Penetapan disebut juga sebagai beschikking dalam bahasa Belanda.Tidak seperti peraturan/regeling, beschikking selalu bersifat individual dan konkrit. Penetapan merupakan hasil atau produk hukum baik dari Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri yang bukan sesungguhnya (jurisdicto voluntaria). Hal ini dikarenakan dalam pengajuan hak asuh anak, hanya ada pemohon dan pada dasarnya ia tidak sedang berperkara dengan lawan, tetapi hanya melakukan permohonan saja. Selain itu, penetapan hanya mempunyai kekuatan hukum yang sepihak, sehingga sifat dari putusannya adalah declaratoir. Adapun sifat tersebut berarti bahwa penetapan hanya merupakan penegasan dan pernyataan saja, sehingga tidak menjadi prasyarat mutlak dalam memberlakukan hak asuh anak.
Dengan kata lain, hak asuh anak pada dasarnya tidak disertai kekuatan eksekutorial. Maka dari itu, untuk menjalankan atau mengeksekusi suatu putusan, khususnya dalam hal melaksanakan hak asuh anak, hakim diberikan kekuatan eksekutorial.
Sebagai kesimpulan, hak asuh anak merupakan suatu persoalan akibat perceraian yang penetapannya adalah berdasarkan keputusan hakim. Dalam menentukan pihak yang berhak untuk mengasuh seorang anak, tentunya ada syarat-syarat dan prosedur yang harus dipenuhi. Jika Majelis Hakim sudah menetapkan salah satu orang tua sebagai pihak yang mendapatkan hak asuh anak, maka keputusan tersebut harus dihormati dan dilaksanakan. Akan tetapi, bila keputusan tersebut tidak dilaksanakan, maka pengadilan dapat melakukan eksekusi sebagai bagian terakhir dari suatu perkara dengan bantuan dari aparat kepolisian Berkaitan dengan permasalahan hukum yang Saudara sampaikan, tentunya apabila kesepakatan antara Saudara dengan pasangan (istri) terkait pengasuhan anak sebaiknya terlebih dahulu mendapatkan penetapan dari pengadilan. Dengan demilkian, apa yang menjadi penetapan pengadilan dapat mengikat para pihak.
Demikian jawaban kami tentang permasalahan hukum Saudara, semoga dapat bermanfaat dan membantu.
Ivo Hetty Nainggolan, S.H., M.H
Penyuluh Hukum Ahli Madya Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham
Tentang detik’s Advocate
detik’s Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: [email protected] dan di-cc ke-email: [email protected]
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
Saksikan Live DetikPagi:
Lihat juga Video: Memoar Rosmala, Hidup Sebagai Ronggeng
(asp/asp)
Saya Diceraikan Istri, Apakah Hak Asuh Anak Wajib Jatuh ke Mantan?
